TEORI STRUKTURAL - FUNGSIONAL
Teori fungsional
dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general
theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan
pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar
diri pengamat.
Fungsionalisme struktural
atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan
hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan
fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan
pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal
yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial.
Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang
paling penting adalah konsep fungsi dan struktur.
Perkataan fungsi digunakan
dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan
kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi
dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok,
organisasi atau asosiasi tertentu.
- Emile
Durkheim
Durkheim adalah orang pertama yang menunjukkan ‘fakta sosial’ (social fact)
sebagai pokok persoalan yang harus dipelajari oleh disiplin Sosiologi. Fakta
sosial dinyatakannya sebagai sesuatu
yang berbeda dari dunia ide, yang menjadi sasaran penyelidikan dari filsafat.
Menurut Durkheim, fakta sosial
tidak dapat dipelajari dan dipahami dengan hanya melalui proses mental yang
disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan
penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural
sciences) dalam mempelajari objek studinya. Dengan menerangkan tentang
objek penyelidikan Sosiologi inilah Durkheim
berusaha untuk melepaskan Sosiologi dari pengaruh filsafat positif Comte dan Spencer yang mengarahkan Sosiologi kepada dunia ide, yang hanya
dapat dipahami melalui pemikiran spekulatif.
Teori Struktural-Fungsional yang
dasar-dasarnya diletakkan oleh Durkheim
mendapat tantangan yang tajam dari penganutnya yaitu George Homans. Homans melihat bahwa
fungsionalisme telah gagal mengembangkan penjelasan mengenai perkembangan
struktural. Salah satu kritik terhadap fungsionalisme adalah diabaikannya studi
tentang individu. Teori Fungsional-Struktural yang disebut sebagai “sosiologi
murni atau ekstrem” dan berjaya dalam perkembangan sosiologi di Amerika, mengalami pergeseran ketika psikologi masuk
ke ranah sosiologi dan “campuran sosiologi dan psikologi’ menjadi bagian yang
penting dalam perkembangan sosiologi di Amerika mulai tahun 1920-an. Di sinilah
kemudian pendulum teori bergeser dari paham “sosiologi ekstrem” ke arah suatu evolusi ulang tentang
peranan individu dalam sistem sosial. (Paloma, 2007: 51-54)
Fokus dari Sosiologi di sini adalah kajian terhadap perilaku manusia
dalam kehidupan berkelompok, dan bagaimana orang-orang saling berhubungan satu
sama lain. “Sociology focuses on the study of human behavior”. (
Schaefer, 2009:9 ). “The study of group behavior and how people relate to
each other.” (Gibson, et al., 2009:7).
Pembicaraan mengenai masyarakat sebagai kajian
sosiologis, harus diberikan makna sebagai homo socius, manusia yang
saling berinteraksi satu sama lain, yang diwujudkan oleh perilaku
individu-individu dalam suatu komunitas manusia. Kenyataan tersebut telah
mendorong para peneliti dan ilmuwan untuk lebih memfokuskan aspek perilaku
manusia dalam berkelompok, yang kemudian dikenal sebagai behavioral sociology.
Behavioral Sociology adalah kajian sosiologi yang berorientasi
positivistik. Meskipun behaviorisme lebih dikenal dalam ilmu psikologi, namun
dalam sosiologi ia memiliki efek langsung pada sosiologi perilaku. Hal yang
menarik dari sosiolog behavioris ini adalah pendapatnya tentang imbalan
(dorongan) dan ongkos (hukuman) dalam teori pertukaran, dan aktor yang
dipandang sarat memiliki tujuan atau
maksud dalam teori pilihan rasional. ( Ritzer & Goodman, 2008:447-449).
Secara paradigmatis, behavioral
sociology oleh Ritzer dimasukkan sebagai paradigma perilaku sosial.
The social facts
paradigm derives its name and orientation from the work of Émile Durkheim and
his contention that sociology should involve the study of social facts that are
external to and coercive over individuals. He distinguished between two broad
types of social facts – material (now most commonly called social structures)
and non-material (now usually called social institutions). The two major
theories subsumed under this heading are structural functionalism and conflict
theory, and to a lesser extent systems theory. The social definition paradigm
derives its name from W. I. Thomas's “definition of the situation” (if people
define situations as real, they are real in their consequences). Symbolic
interactionism is a theoretical component of the social definition paradigm, as
is ethnomethodology. Finally,
there is the social behavior paradigm,
adopting a focus on behavior from the psychological behaviorists, especially B.
F. Skinner. Exchange theory and rational choice would be included in
this paradigm.
(Ritzer,
www.blackwellreference.com)
Fakta-Fakta Sosial Emile
Durkheim
Untuk membantu teori sosial menjauhkan diri dari filsafat
dan untuk memberinya suatu identitas yang jelas dan terpisah, Durkheim
(1895/1982) mengusulkan agar pokok masalah sosiolog yang khas harusnya ialah
mempelajari fakta-fakta sosial (liat M.Gane, 1988;Gilbert, 1994; Nielsen,
2005a, 2007a; dan edisi istimewa Sociological
Perspectives [1995]). Ringkasnya, fakta-fakta sosial adalah
struktur-struktur sosial dan norma-norma dan nilai-nilai kultural yang
eksternal bagi, dan bersifat memaksa kepada, para aktor. Para mahasiswa,
misalnya, dibatasi oleh struktur-struktur sosial seperti birokrasi universal
dan juga norma-norma serta nilai-nilai masyarakat Amerika, yang member arti
penting yang besar pada pendidikan perguruan tinggi. Fakta-fakta sosial yang
sama memaksa orang-orang yang ada di semua wilayah kehidupan sosial.
Hal yang sangat penting dalam
pemisahan teori sosial dari filsafat adalah ide bahwa fakta-fakta sosial
diperlakukan sebagai “benda-benda” (S.Jones, 1996) dan dipelajari secara
empiris. Hal itu berarti bahwa kita harus mempelajari fakta-fakta sosial dengan
memperoleh data dari luar pikiran-pikiran kita sendiri melalui pengamatan dan
eksperimentasi. Studi empiris fakta-fakta sosial sebagai benda-benda memisahkan
teori sosial Durkheimian dari pendekatan-pendekatan yang lebih filosofis.[1]
Durkheim memberikan dua cara mendefinisikan suatu fakta sosial sehingga teori
sosial dibedakan dari psikologi. Pertama,
suatu fakta sosial dialami sebagai suatu paksaan eksternal ketimbang suatu
dorongan internal; kedua, fakta
sosial merupakan hal yang umum di seluruh masyarakat dan tidak melekat pada
setiap individu khusus.[2] Durkheim sendiri memberi beberapa
contoh mengenai fakta-fakta sosial, termasuk aturan-aturan hukum,
kewajiban-kewajiban moral, dan konvensi-konvensi sosial. Dia juga mengacu
kepada bahasa sebagai suatu fakta sosial, dan member suatu contoh yang mudah
dimengerti. Pertama, bahasa adalah suatu “benda” yang harus dipelajari secara
empiris. Orang tidak dapat hanya berfilsafat tentang aturan-aturan logis
bahasa. Tentu saja, semua bahasa mempunyai beberapa aturan logis mengenai tata
bahasa, pengucapan, pengejaan, dan sebagainya;akan tetapi, semua bahasa juga mempunyai
perkecualian yang penting bagi aturan-aturan logis itu (Quine, 1972). Apa yang
mengikuti aturan-aturan dan apa yang merupakan perkecualiannya harus ditemukan
secara empiris dengan mempelajari penggunaan bahasa actual, khususnya karena
penggunaan bahasa berubah seiring dengan waktu dalam cara-cara yang tidak dapat
diprediksi secara lengkap.
Kedua, bahasa bersifat eksternal
bagi individu. Meskipun para individu menggunakan suatu bahasa, bahasa tidak
didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Fakta bahwa para individu
menyesuaikan bahasa kepada pemakaian mereka sendiri mengandaikan bahwa bahasa
pertama-tama eskternal bagi individu dan membutuhkan adaptasi untu penggunaan
individual. Sebenarnya, beberapa filsuf (Kripke, 1982; Wittgenstein, 1953) telah
berargumen bahwa tidak mungkin ada hal seperti bahasa pribadi. Suatu koleksi
kata-kata yang hanya mempunyai makna pribadi tidak akan dapat dikatakan sebagai
sebuah bahasa karena ia tidak melaksanakan fungsi dasar suatu bahasa:
komunikasi. Bahasa, menurut definisinya, bersifat sosial dan oleh karena itu
bersifat eksternal bagi setiap individu khusus.
Ketiga, bahasa bersifat memaksa
individu. Bahasa yang kita gunakan membuat beberapa hal teramat sulit
dikatakan. Contohnya, orang yang bergaul seumur hidup dengan pasangan dari
jenis kelamin yang sama mempunyai saat yang sangat sulit untuk menyebut satu
sama lain. Apakah mereka satu sama lain harus saling menyebut “mitra” yang akan
membuat orang berfikir bahwa mereka mempunyai bisnis bersama “orang lain yang
penting,” ”kekasih,” ”pasangan,” ”teman istimewa”? Tiap sebutan tampaknya
mempunyai kerugian. Bahasa adalah bagian dari fakta-fakta system sosial yang
membuat kehidupan dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama sulit, andaipun
setiap individu secara pribadi menerima hubungan dari jenis kelamin yang sama.
Akhirnya, perubahan-perubahan di
dalam bahasa hanya dapat dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain dan tidak
pernah oleh maksud-maksud seorang individu. Sekalipun di dalam contoh-contoh
yang jarang ada ketika suatu perubahan di bidang bahasa dapat dilacak pada
seorang individu, penjelasan yang actual
untuk perubahan itu adalah fakta-fakta sosial yang telah membuat masyarakat
terbuka terhadap perubahan itu. Contohnya, sebagian besar bagian bahasa yang
dapat diubah adalah jargon, yang nyaris selalu berasal dari suatu kelompok
sosial marginal. Kita dapat mengasumsikan bahwa seorang individu merupakan asal
pertama suatu istilah hargon, tetapi individu yang mana, tidak relevan. Fakta
kelompok sosial marginalnyalah yang benar-benar menjelaskan sejarah dan fungsi
jargon itu.
Tipe-tipe Fakta-fakta Sosial
Nonmaterial
1.
Moralitas,
Pertama, Durkheim yakin bahwa
moralitas adalah suatu fakta sosial, denan kata lain, bahwa moralitas dapat
dipelajari secara empiris, eksternal bagi individu, bersifat memaksa individu,
dan dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Hal ini berarto bahwa
moralitas bukanlah sesuatu yang dapat difilsafati orang, tetapi sesuatu yang
harus dipelajari sebagai suatu fenomena empiris. Kedua, Durkheim adalah seorang teoritikus moralitas karena
studi-studinya didorong oleh perhatiannya kepada “kesehatan” moral masyarakat
modern. Banyak teori sosial Durkheim dapat dilihat sebagai produk sampingan
perhatiannya kepada isu-isu moral. Sungguh, seorang kolega Durkheim menulis di
dalam tinjauan mengenai karya seumur hidup Durkheim bahwa “orang akan gagal
memahami karya-karyanya jika tidak memperhitungkan fakta bahwa moralitas adalah
pusat dan objeknya.
2. Nurani Kolektif,
Durkheim mencobamenguraikan minatnya kepada moralitas umum dengan berbagai cara dan dengan konsep-konsep yang
berbeda. Dalam usaha awalnya menangani isu tersebut, Durkheim mengembangkan ide
mengenai nurani kolektif (collective
conscience). Dalam bahasa Prancis, kata conscience
berarti baik “consciousness” (kesadaran) maupun “nurani moral”. Durkheim
mencirikan nurani kolektif dengan cara berikut:
Totalitas
kepercayaan-kepercayaam dan sentiment-sentimen yang lazim bagi rata-rata warga
dari masyarakat yang sama membentuk suatu sistem tertentu yang mempunyai
kehidupannya sendiri;orang dapat menyebutnya nurani kolektif atau nurani
bersama. Oleh karena itu, nurani kolektif adalah hal yang berbeda sama sekali
dari nurani-nurani khusus, meskipun ia dapat disadari hanya melalui
nurani-nurani khusus itu.
3. Representasi
Kolektif
Karena nurani kolektif merupakan suatu
ide yang begitu luas dan tidak berbentuk, mustahil mempelajarinya secara
langsung dan harus mendekatinya melalui fakta-fakta sosial material yang
terkait. (Contohnya, kita akan melihat penggunaan sIstem legal oleh Durkheim
untuk menyatakan sesuatu tentang nurani kolektif.) Ketidakpuasan Durkheim
dengan keterbatasan tersebut menyebabkan dia tidak begitu banyak menggunakan
nurani kolektif di dalam karyanya yang belakangan karena lebih menyukai konsep
yang jauh lebih spesifik yakni representasi
kolektif (Nemedi, 1995;Schmus, 1994). Dalam bahasa Prancis representation berarti “ide”. Durkheim
menggunakan istilah itu untuk mengacu baik kepada suatu konsep kolektif adalah
simbol-simbol agamis, mitos-mitos, dan legenda-legenda popular. Semua itu
adalah cara-cara masyarkat mencerminkan dirinya sendiri (Durkheim,
1895/1982;40). Mereka menggambarkan kepercayaan-kepercayaan, norma-norma, dan
nilai-nilai kolektif, dan mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada
klaim-klaim kolektif itu.
4. Arus Sosial
Sebagian
besar contoh fakta-fakta sosial yang diacu Durkheim adalah yang berkaitan
dengan organisasi-organisasi sosial. Akan tetapi, dia menjelaskan bahwa ada
fakta-fakta sosial “yang tidak menggambarkan dirinya di dalam bentuk yang sudah
dikristalisasi ini”(1985/1982:52). Durkheim menyebut hal itu arus-arus sosial. Dia member contoh
“gelombang-gelombang besar semangat, kemarahan, dan rasa kasihan” yang
dihasilkan di dalam pergaulan-pergaulan publik (Durkheim, 1895/1982: 52-53).
Meskipun arus-arus sosial kurang konkret daripada fakta-fakta sosial, namun
tetap merupakan fakta-fakta sosial karena tidak dapat direduksi menjadi
individu. Kita dibawa serta oleh arus sosial semacam itu, dan arus itu mempunyai
suatu daya memaksa kepada kita meskipun kita baru menyadarinya bila kita
berjuang melawan perasaan-perasaan bersama.
The Division of Labor in
Society
The Division of Labor
Society (Durkheim, 1893/1964; Gibbs, 2003) telah
disebut sebagai karya klasik pertama sosiologi (Tiryakian, 1994). Di dalam
karya tersebut, Durkheim melacak perkembangan relasi modern di antara para
individu dan masyarakat. Secara khusus, Durkeim ingin menggunakan ilmu
sosiooginya yang untuk memeriksa apa yang oleh banyak orang pada masa itu telah
dilihat sebagai krisis moralitas modern. Pengantar kepada edisi pertama
dimulai, dengan:”Buku ini terutama merupakan suatu upaya untuk memperlakukan
fakta-fakta kehidupan moral menurut metode-metode ilmu-ilmu positif.”
Solidaritas Mekanis dan
Organik
Perubahan di dalam pembagian kerja mempunyai
implikasi-implikasi yang sangat besar bagi struktur masyarakat. Durkheim paling
tertarik pada cara yang berubah yang menghasilkan solidaritas sosial, dengan
kata lain, cara yang berubah yang mempersatukan masyarakat dan bagaimana para
anggotanya melihat dirinya sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Untuk
menangkap perbedaan tersebut, Durkheim mengacu kepada dua tipe solidaritas
mekanis dan organik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanis
bersatu karena semua orang adalah generalis.
Ikatan di antara orang-orang itu ialah karena semua orang terlibat di dalam
kegiatan-kegiatan yang mirip dan mempunyai tenggung jawab-tanggung jawab yang
mirip. Sebaliknya, suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas organic dipersatukan oleh
pendekatan-pendekatan di antara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya
mempunyai tugas-tugas dan tanggungjawab yang berbeda.
Norma dan Patologis
Mungkin klaim-klaim Durkheim yang paling controversial
ialah bahwa sang teoritikus mampu membedakan antara masyarakat yang sehat dan
patologis. Setelah menggunakan ide itu di dalam The Division of Labor, Durkheim menulis buku lain, The Rules of Sosiological Method (1895/1982).
Di dalam buku tersebut, antara lain, Durkheim mencoba memperbaiki dan membela
ide itu. Dia mengklaim bahwa masyarakat yang sehat dapat dikenali karena sang
teoritikus akan menemukan kondisi-kondisi serupa di dalam masyarakat-masyarakat
lain pada tahap-tahap yang serupa. Jika suatu masyarakat menyimpang dari apa yang
ditemukan secara wajar, mungkin masyarakat itu patologis.
Di dalam The Division
of Labor, dia memggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk
“abnormal” pembagian kerja yang diterima di dalam masyarakat modern. Dia
mengenali tiga bentuk abnormal: (1) Pembagian kerja anomik, (2) pembagian kerja
yang dipaksakan, dan (3) pembagian kerja yang dikoordinasikan dengan buruk.
Durkheim bersikeras bahwa krisis moral modernitas, yang oleh Comte dan
orang-orang lain disamakan dengan pembagian kerja, sebenarnya disebabkan oleh
bentuk-bentuk abnormal tersebut.
Suicide
Telah disarankan bahwa studi Durkheim atas bunuh diri
adalah contoh paradigmatik mengenai cara seorang teoritikus harus menghubungkan
teori dan riset (Merton, 1968). Sungguh, Durkheim membuat hal itu jelas di
dalam “Prakata” bahwa dia memaksudkan studinya bukan hanya untuk member
sumbangan bagi pemahaman suatu masalah sosial tertentu, tetapi juga untuk berlaku
sebagai contoh untuk metode teori sosialnya yang baru. (Untuk serangkaian
penaksiran Suicide hampir 100 tahun
setelah publikasinya, lihat Lester, 1994)
Durkheim memilih untuk mempelajari bunuh diri karena itu
adalah suatu fenomena yang relative konkret dan spesifik yang memiliki data
yang agak baik. Akan tetapi, alasan Durkheim yang paling penting untuk
mempelajari bunuh diri ialah membuktikan kekuatan ilmu teori sosial yang masih
baru. Bunuh diri secara umum dipandang sebagai salah satu dari
tindakan-tindakan yang paling pribadi dan personal. Durkheim percaya bahwa jika
dia dapat menunjukkan bahwa teoritikus mempunyai suatu peran untuk dimainkan di dalam
menjelaskan tindakan yang tampak individualistik seperti bunuh diri, hal itu
akan relatif mudah untuk memperluas domain teori sosial kepada fenomena yang
jauh lebih siap dilihat sebagai hal yang terbuka kepada analisis sosiologis.
Empat Tipe Bunuh Diri
Teori bunuh diri dapat dilihat
dengan lebih jelas jika kita memeriksa hubungan di antara tipe-tipe bunuh diri
dan kedua fakta sosial yang mendasarinya intergrasi dan regulasi (Pope, 1976).
Integrasi mengacu kepada kekuatan keterkaitan yang kita miliki pada masyarakat.
Regulasi mengacu kepada derajat paksaan eksternal pada masyarakat. Bagi
Durkheim kedua arus sosial itu adalah variable-variabel yang berkelanjutan, dan
angka bunuh diri meningkat bila salah satu dari arus tersebut terlalu rendah
atau terlalu tinggi. Oleh karena itu, kita mempunyai empat tipe bunuh diri
altruistik. Integrasi yang rendah menyebabkan peningkatan di dalam bunuh diri
egoistik. Bunuh diri Fatalistik dikaitkan dengan regulasi yang tinggi, dan
bunuh diri anomik dengan regulasi yang rendah.
1. Bunuh Diri
Egoistik
Angka-angka
bunuh diri egoistik yang tinggi (Berk, 2006) besar kemungkinan ditemukan di
dalam masyarakat-masyarakat atau kelompok-kelompok tempat individu tidak terintegrasi
dengan baik ke dalam unit sosial yang lebih besar. Kurangnya integrasi itu
menyebabkan perasaan bahwa individu itu bukan bagian dari sang individu.
Durkheim percaya bahwa bagian-bagian terbaik seorang manusia moralitas,
nilai-nilai, dan perasaan mempunyai maksud berasal dari masyarakat. Suatu
masyarakat yang terintegrasi memberikan hal-hal itu kepada kita, dan juga
perasaan umum mendapat dukungan moral memampukan kita menghadapi
penghinaan-penghinaan kecil dan kekecewaan-kekecewaan sepele dalam kehidupan
sehari-hari. Tanpa hal tersebut, besar kemungkinan kita melakukan bunuh diri
karena frustasi yang paling kecil sekalipun.
2. Bunuh Diri
Alturistik
Tipe
kedua bunuh diri yang didiskusikan oleh Durkheim adalah bunuh diri altruistik. Sementara bunuh diri egositik lebih mungkin
terjadi ketika integrasi sosial terlalu lemah, bunuh diri altruistik lebih
mungkin terjadi ketika “integrasi sosial terlalu kuat “(Durkheim,
1897/1951:217). Individu secara harfiah dipaksa untuk melakukan bunuh diri.
Satu
contoh bunuh diri altruistik yang terkenal buruk ialah bunuh diri missal para
pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana, pada 1978. Mereka secara sadar
menenggak minuman beracun, dan dalam beberapa kasus juga menyuruh anak-anak
mereka ikut minum. Mereka jelas melakukan bunuh diri karena mereka
terintegritas begitu ketat ke dalam serikat pengikut fanatik Jones. Durkheim
mencatat bahwa hal itu juga merupakan penjelasan bagi orang-orang yang berusaha
menjadi martir (Durkheim, 1897/1951:225), seperti di dalam serangan teroris
pada 11 September 2001. Secara lebih umum, orang-orang yang melakukan bunuh
diri altruistik melakukannya karena mereka merasa tugas merekalah untuk berbuat
demikian. Durkheim berargumen bahwa hal tersebut secara khusus mungkin terjadi
di militer, di mana tingkat integritas begitu kuat sehingga seorang individu
merasa baha dia telah mempermalukan seluruh kelompok dengan
kegagalan-kegagalan, bahkan yang paling sepele sekalipun.
3. Bunuh Diri
Anomik
Bentuk
bunuh diri ketiga yang utama yang didiskusikan oleh Durkheim adalah bunuh diri anomik, yang lebih mungkin
terjadi ketika kekuasaan-kekuasaan pengatur masyarakat terganggu.
Kekacauan-kekacauan tersebut mungkin membuat para individu kecewa sedikitnya
pengendalian atas nafsu-nafsu mereka, yang bebas merajalela dalam perlombaan
yang tidak kenal puas untuk mencapai kepuasan. Angka bunuh diri anomik lebih
mungkin muncul entah karena sifat kekacauan yang positif (misalnya, ledakan
ekonomi) atau karena sifatnya negatif (depresi ekonomi). Kedua tipe kekacauan
itu membuat kolektivitas untuk sementara tidak mampu menjalankan otoritasnya
terhadap para individu. Perubahan-perubahan demikian menempatkan orang-orang di
dalam situasi baru di mana norma-norma lama tidak berlaku lagi tetapi norma-norma
baru belum berkembang. Periode-periode kekacauan melepaskan arus-arus anomie
suasana hati tidak berakar dan tidak bernorma dan arus-arus itu menyebabkan
peningkatan dalam angka bunuh diri anomik. Hal itu agak mudah dibayangkan di
dalam kasus suatu depresi ekonomi. Penutupan sebuah pabrik karena depresi dapat
menyebabkan hilangnya pekerjaan, dengan hasil bahwa sang individu terputus dari
efek regulatif yang mungkin dipunyai oleh perusahaan dan pekerjaan itu.
Terputus dari struktur-struktur tersebut atau struktur yang lain (contohnya
keluarga, agama, dan negara) dapat membuat seorang individu menjadi sangat
rapuh terhadap efek arus-arus anomie.
4. Bunuh Diri
Fatalistik
Ada
tipe bunuh diri yang sedikit disebutkan fatalistik yang didiskusikan Durkheim
hanya di dalam catatan kaki di dalam Suicide
(Acevedo, 2005:Besnard, 1993). Sementara bunuh diri anomik lebih mungkin
terjadi di dalam situasi-situasi ketika regulasi terlalu lemah, bunuh diri
fatalistik lebih mungkin terjadi ketika regulasi terlalu berlebihan. Durkheim
(1897/1951:276) melukiskan orang-orang yang lebih mungkin untuk melakukan bunuh
diri fatalistik sebagai “pribadi-pribadi dengan masa depan yang terhalang tanpa
ampun dan nafsu-nafsu yang dicekik dengan kasar oleh disiplin yang bersifat
menindas”. Contoh klasiknya ialah budak yang merenggut nyawanya sendiri karena
keadaan tanpa harapan terkait dengan pengaturan yang bersifat menindas atas
setiap tindakannya. Terlalu banyak pengaturan penindasan, membebaskan arus-arus
kemurungan jiwa, yang pada gilirannya, menyebabkan peningkatan di dalam angka
bunuh diri fatalistik.
- Talcott Parson
Titik perangkat Person adalah adanya “interaksi aktro-aktor
individu di bawah kondisi yang mendorong kita menggunakan interaksi mereka
sebagai suatu system di dalam pengertian keilmuan dan mengontrol tatanan
analisa teoritis yang sama di mana telah berhasil diterapkan pada jenis system
lain di dalam ilmu-ilmu lainnya. Sistem paling sederhana dari interaksi
tersebut adalah yang bersifat “hubungan berpasangan”, seperti antara ego dan
alter, yang dalam analisa terakhirnya menyatakan bahwa organism-organisme bukanlah
tindakan-tindakan yang secara memadai dapat dimengerti melalui referensi
terhadap sistem biologisnya atau fisiokimiawi. Interaksi sosial harus dipahami
pada tingkatannya sendiri dan bukan dikurangi oleh faktor-faktor yang bukan
sosial, walaupun hal seperti ini bida jadi relevan. Oleh karena itu Parsons
lebih suka berbicara tentang tindakan dari seorang aktor dan keadaan
tindakannya dari pada perilaku organism dan lingkungannya. Posisinya makin
jelas bila dibedakan dari kelompok behavioris.
Ego dan alter merupakan aktor-aktor
sosial yang berlaku spesifik dan berperan secara timbal balik sehingga
“harapan-harapan yang sifatnya pelengkap khususnya dibentuk di antara mereka.
Sifat pelengkap ini sebagaimana yang akan kita lihat, merupakan dasar dari keseimbangan
system. Ego memberikan ganjaran seluruh tindakan alter yang menyesuaikan dengan
harapan-harapan ego, dan sebaliknya menghukum seluruh tindakan yang tidak
seiraia, jadi secara timbal balik alter memberi ganjaran dan hukuman terhadap
tindakan-tindakan ego.[3]
Jadi kepribadian merupakan suatu
aspek sistem sosiokultural. Para individu menginternalisasikan aspek-aspek dari
pola-pola nilai yang dilembagakan itu dan secara khas menerapkan
peranan-peranan secara wajar dan di saat mereka tidak melakukan hal itu,
misalnya di saat mereka menyimpang maka mereka dikembalikan lagi ke dalam suatu
garis melalui beberapa saknsi negatif. Dalam terminologi seperti ini ada suatu
“sektor umum” dari keduanya, yakni bagi kepribadian dan sistem sosial.[4]
Tiga aspek utama tentang tindakan
yang oleh Parsons disebut kognitif, katektik, dan evaluative, yakni “tiga model
dari orientasi motivasional”. Hal ini setidak-tidaknya mengacu kepada perbedaan
psikologi klasik yang terkenal tentang dimensi kognitif, katektik dan konatif. Menurut
Parsons, kognitif merujuk kepada definisi seorang aktor tentang situasi dalam
terminologi kepentingannya, karektik merupakan pengujian seorang aktor untuk
kepuasannya,sedangkan evaluatif merujuk kepada pilihan sang aktor dan tatanan
dari alternatifnya. Seorang aktor dapat menunggu secara pasif pada
kejadian-kejadian yang muncul, yakni suatu keadaan yang disebut “antisipasi”,
atau dia dapat mencarinya secara aktif demi pencapaian atau menghindarinya,
yaitu keadaan yang disebut “arah tujuan” yang kemudian menjadi “karakteristik
yang mendasar dari seluruh tindakan. Teori tindakan percaya pada anggapan yang
mendasar di mana interaksi makhluk social itu didasarkan pada seperangkat
sistem bahasa, tetapi juga bias makna-makna simbolik lainnya yang melengkapi suatu
tradisi budaya.[5]
Secara logika tiga sistem independen
tersebut, yakni sosial, budaya dan kepribadian ternyata di dalam suatu tindakan
semuanya sangat terkait. Jika pertama kali diambil budaya maka elemen-elemen
lainnya dikaji, dikumpulkan dan dipindahkan. Akhir dari karakteristik ini,
yakni pewarisan atau pemindahan, suatu fajka bahwa seperangkat elemen itu tidak
hanya dilalui terhadap generasi berikutnya tetapi juga dapat dilemburkan dari
satu sistem kepada yang lain.”yang berfungsi sebagai kriteria yang paling
penting untuk membedakan suatu budaya dari system social. Berkaitan dengan
sistem sosial yang khusus, hal ini merupakan suatu “pola elemen” yang secara
analitis dan empiris bias diabstraksikan dari sistem sosial yang khusus
tersebut”.[6]
Prasyarat-prasyarat fungsional yang
dikemukakan Parsons mirip dengan yang pernah kita gugat pada Averle ( dan
kawan-kawan). Suatu sistem social tidak harus bertentangan dengan
kebutuhan-kebutuhan utama dari individu, aktor-aktor yang berpartisipasi atau
dengan sistem kultural yang terintegrasi secara stabil. Sebaliknya sistem
budaya dan sistem kepribadian harus mendukung system social. Pada aktor harus
dimotivasi memenuhi peranan-peranan yang dibutuhkannya dan pola-pola budaya
harus menguntungkan tatanan yang minimal.
Talcott Parsons dan Pattern
Variables
Dewasa ini tradisi Parsonian sedang
mengalami pembaharuan yang menakjubkan. Meskipun dinyatakan mati oleh banyak
sosiolog selama tahun 1970-an, tetapi yang mengejutkan di tahun 1980-an muncul
sejumlah pendekatan baru yang ingin membangun kembali teori Parsonian pada
tingkatan yang samasekali baru.
(Munch, 2008:195)
Whether or not one agrees with Parsons’
version of sociology, I believe we have to respect Parsons as a committed
scientist, whose own life was also shaped by the pattern variables he sought to
describe in The Social System.
(Turner,1999)
Parsons adalah penyokong grand theory yang
berusaha untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial di dalam suatu
lingkup kerangka kerja teoritis. Dalam karya awalnya The Structure of Social
Action (1937), ia meninjau pekerjaan dari
pendahulunya, terutama Max Weber, Vilfredo Pareto, dan Émile Durkheim, dan berusaha mendapatkan dari toritisi tersebut
satu “teori tindakan” yang didasarkan atas asumsi bahwa tindakan manusia adalah
voluntaristik, intensional dan simbolis. Dalam karya selanjutnya The Social
System (1951), ia menyebut sistem sosial terdiri dari beragam aktor yang
berinteraksi satu dengan yang lain dalam suatu situasi yang terkait dengan
aspek fisik atau lingkungan, dan aktor termotivasi karena tendensi pada "optimization of
gratification.” (http://www.newworldencyclopedia). Dalam The Social System ini, Parsons
bersama dengan general theory
tentang tindakan, memapankan diri sebagai figur sentral dalam
fungsionalisme-struktural (Turner, 2005:xiii).
Parsons menggagas fungsionalisme struktural berada
di tengah sosiologi klasik, yang melihat
totalitas masyarakat dalam suatu periode waktu, sebagaimana terlihat
dari ilustrasi teori dasar ”hukum tiga tahap” Auguste Comte.
Kemudian diteruskan dengan evolusi
solidaritas organis ke mekanis dari E. Durkheim yang terbentuk pembagian kerja yang besar, perubahan dalam sistem hukum ”sirkulasi elit”
lewat periode inovasi, yang diikuti oleh aturan yang lebih konservatif dari Vilfredo
Pareto, dan analisis Max Weber tentang peningkatan sifat-sifat
rasional masyarakat modern. Dalam tradisi teoritis dasar inilah Talcott
Parsons memilih karyanya, dan ia berusaha
untuk memadukan kekayaan teoritis sosiologi klasik ke dalam suatu teori
total dan komprehensif.(Poloma, 2007: 167-168)
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam sosiologi modern, pemaduan kekayaan teori klasik
dalam teori fungsional telah dibangun dengan sangat sistematis oleh Talcott
Parsons. Meskipun Parsons pada awal karirnya berkontribusi untuk
mengintegrasikan beberapa perspektif menuju suatu teori tindakan sosial yang
komprehensif, ia lebih dikenal dengan analisis struktural/fungsional dalam
segala aspek di masyarakat. Dengan dua karya The Structure of Social Action (1937) yang menghasilkan
pendekatan valuntaristic theory of social action dan The
Social System (1951) tersebut, Paul Doyle Johnson
(2008:209-210) menyimpulkan bahwa teori
fungsional yang selalu dilihat sebagai hal yang relevan untuk analisis di level
makro, dalam kenyataannya dapat diaplikasikan dalam semua level sistem sosial,
termasuk level mikro dan meso.
Di
sisi lain, terkait dengan The Structure of Social Action, menjadi penting
menurut Munch (2008: 198) untuk
melihat apakah valuntaristic theory of social action
menjadi positivistik atau idealistik. Untuk menjawab ini, yang diperlukan
adalah sebuah metateori yang mengintegrasikan pendekatan-pendekatan metodologis
(idiografis, tipe ideal, nomologis, konstruktivistik), diteruskan dengan
metode-metode penjelasan positivistik (kausal dan teleonomik), dan tingkatan
teori-objek dengan utilitarianisme,
serta konflik sebagai varian positivisme, sedangkan sosiologi dunia-
kehidupan dan rasionalisme budaya sebagai varian idealisme.
Hampir senada dengan Munch, Holton (2003:
153) melihat bahwa Parsons mempunyai perhatian tentang dua isu teoritis
yang menjadi inti di atas semua isu-isu
teoritis. Dua hal tersebut adalah
permasalahan tentang tindakan sosial dan permasalahan tentang keteraturan
sosial. Permasalahan tindakan sosial
mempertanyakan mengapa para aktor bertindak dengan cara mereka, seberapa jauh
tindakan mereka distrukturkan melalui pengaruh kontrol di luar mereka,
konsekuensinya apa, tak sengaja atau disengaja, dan seterusnya. Permasalahan tentang keteraturan sosial adalah bagaimana
mungkin memperlakukan keragaman tndakan sosial menuju pemolaan sosial, dan
seberapa jauh pemolaan bergantung pada pemaksaan atau tekanan, sebagai
perlawanan dari konsensus.
Berkaitan dengan tindakan
variasi orientasi subjektif, teori Parsons yang sangat terkenal adalah Pattern
Variables. Dalam valuntaristic theory of social action, Parsons
berargumen, bahwa perilaku manusia terdiri dari pilihan-pilihan yang dibuat
oleh orang-orang, tetapi pilihan-pilihan tersebut diatur oleh nilai dan norma.
Dengan demikian ia merupakan awal, sekaligus tujuan untuk menjelaskan variasi
orientasi subjektif manusia melalui arah-tujuan perilaku mereka yang diatur
secara normatif. (Johnsons, 2008: 311-312).
Bahwa tindakan individu adalah voluntaristik,
sebagaimana dikutip oleh Scott (2006:118-119) dari Parsons dan Bales
(1956), dikarenakan individu mempunyai kemampuan untuk memilih bagaimana
mereka akan bertindak. Aneka pilihan yang mereka buat, bagaimanapun, bukanlah
tindakan yang sederhana dari kemauan bebas tak terkekang, tetapi dibatasi oleh
budaya. Kultur terdiri dari tanda
atau lambang yang mengatur tindakan secara kolektif sehingga dapat
diorganisasikan. Simbol adalah objek yang diinternalisasi, dan dapat dipancarkan dengan perubahan dari
satu orang ke orang lain.
Dalam valuntaristic theory of social action, analisis Parsons sangat kompleks,
namun ide dasarnya adalah konsisten dengan akal sehat dan pengalaman
keseharian. Argumen Parsons tentang tindakan sosial menurut Johnsons
(2008: 312) memiliki karakteristik :
1). it is goal directed (or has an end);
2). it takes place in a situation that provides means individuals
can use to achieve their goal, plus conditions the actor cannot change, and;
3). it is normatively regulated with respect to the
choice of both ends and means.
Dalam pattern variables, patterns merujuk pada struktur
peran-definisi yang mengkonfrontasikan tindakan sebagai sistem pilihan yang
dilematis. Pembedaan melalaui pattern variables, dapat dihubungkan
dengan konsep gemeinschaft and gesellschaft
yang dijelaskan secara sistematis pertama kali oleh Ferdinand Tonnies.(Turner,
1999:174) Pattern Variables yang
diklaim sebagai universal dan tidak terhindarkan, affectivity v. Affective
neutrality; self v. collective orientation; universalism v. particularism;
achievement v. ascription; specificity v. diffuseness digambarkan Parsons (2005:71)
dalam bukunya The
Social Systems sebagai berikut:

Gambar
13. Pattern
Variables
Pattern variables dapat dilihat dalam konteks skema tindakan
umum, yang variabel-variabelnya
diturunkan dalam pola yang saling berkaitan; bukan merupakan susunan daftar
yang sederhana, namun variabel-variabel tersebut memiliki keterkaitan
sistematis yang penting. Skema yang memiliki dua poros yang menunjukkan dua
aspek utama, merupakan polaritas antara orientasi motivasi dan orientasi nilai
atau kultural.(Parsons, 2005:67). Dalam orientasi nilai, terdapat pasangan universalism-particularism
dan ascription-achievement. Mereka
terkait, sebagaimana dilihat, dengan memperhatikan nilai-norma yang masuk ke struktur dari sistem sosial, dan
dengan jalan melihat karakteristik yang dibangun dari para aktor. Pasangan yang kedua adalah terkait lebih dengan
sistem sosial dalam acuan fungsional. Adalah dapat dipahami bahwa kecukupan
motivasional dari suatu sistem sosial sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh
karena itu dalam beberapa hal, oleh karena itu, pasangan yang kedua akan
mempunyai keunggulan untuk analisis sistem sosial sebagai tipe struktural. Di
sisi lain, untuk analisis masalah kepribadian dalam struktur sosial, pasangan
yang pertama akan mempunyai keunggulan (Parsons, 2005: 72). Adapun variabel
kelima, yaitu orientasi self-collectivity berada di tengah, karena tidak
dalam signifikansi struktural yang utama, namun lebih pada signifikansi
menyatukan (integrative).
Johnson
(2008: 313-314) melihat pattern variables
sebagai orientasi motivasional yang simultan, ditambah orientasi nilai, yang
keduanya masuk dalam tindakan sosial. Konsep tentang motivasi merujuk pada
hasrat individu untuk memaksimalkan kepuasan dan meminimalkan kerugian,
termasuk tujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam jangka
panjang. Orientasi nilai merujuk pada standar normatif, yang membangun
pilihan-pilihan individu dengan memperhatikan kebutuhan, prioritas, dan tujuan
yang berbeda.
Menurut
Poloma (2007: 168-169), Parsons
mengembangkan pattern variables sebagai sarana untuk mengategorikan
tindakan atau untuk mengklasifikasikan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial.
Lima buah skema dilihat sebagai kerangka teoritis utama dalam analisis sistem
sosial yang diturunkan dari dikotomi klasik Tonnies mengenai gemeinschaft
dan gesellschaft. Atau dapat
dikatakan, bahwa pattern variables adalah de-differentiation untuk konsep Tonnies
tentang gemeinschaft dan gesellschaft.(Kwang, 2003: 51)
The
Pattern variables tersebut adalah :
1).
Affective versus
affective neutrality. Dalam suatu hubungan sosial, orang bisa bertindak
untuk pemuasan afeksi/kebutuhan emosional atau bertindak tanpa unsur afeksi
(netral).
2). Self orientation versus collective-orientation.
Dalam hubungan yang berorientasi hanya pada dirinya, orang mengejar kepentingan
pribadi, sedang dalam hubungan berorientasi kolektif, kepentingan tersebut
sebelumnya telah didominasi oleh kelompok.
3). Universalism versus particularism.
Dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut
kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang, sedang dalam hubungan
partikularistik digunakan ukuran-ukuran tertentu.
4). Quality versus performance.
Variabel quality menunjuk pada “status askrib” (ascribed status)
atau keanggotaan dalam kelompok berdasarkan kelahiran. Performance
berarti prestasi (acbievement) atau apa yang dicapai oleh seseorang.
5). Specificity versus diffusness.
Dalam hubungan yang spesifik, orang dengan orang lain berhubungan dalam situasi
yang terbatas atau segmented. Seorang penjual dan pelanggan merupakan
ilustrasi hubungan sangat terbatas yang didasarkan jual-beli. Di pihak lain,
hubungan keluarga adalah contoh dari hubungan diffuse, semua orang
(bukan karena status tertentu) terlibat dalam proses interaksi. (Poloma
2007: 168-169)
Pattern variables dapat
dihubungkan dengan tipologi Tönnies yang terkenal dengan Gemeinschaft and Gesellschaft, yang digambarkan oleh Johnson
(2008:316 ) sebagai berikut:
![]() |
Gemeinschaft Gesellschaft

Affectivity
Affective neutrality
Collectivity
orientation Self
orientation
Particularism Universalism
Ascription Achievement
Diffuseness Specificity
Gambar 14. The Pattern
Variable choiches Associated with Tonnies’ Dichotomy
Dalam bukunya tentang Modernisasi
dan Perubahan Sosial, Sanggar Kanto (2006: 58) menjabarkan pattern
variables dalam dikotomi Tonnies tentang gemeinschaft dan gesellschaft
sebagai berikut:
Gemeinschaft
(Masyarakat
Tradisional)
|
Gesellschaft
(Masyarakat
Modern)
|
Affective
Collective
orientation
Particularism
Ascription
Diffuseness
|
Affective
neutrality
Self
Orientation
Universalism
Achievement
Specificity
|
Gambar 15, Masyarakat
Tradisional dan Modern dalam Dikotomi Tonnies dan Pattern Variables
Selanjutnya dijelaskan, dalam unsur pertama, affective, yang dominan adalah unsur
perasaan dan kasih sayang, sebagaimana diperlihatkan dalam masyarakat pedesaan,
yang umumnya masih memiliki empati yang tinggi. Dalam affective neutrality,
unsur rasionalitas yang umumnya terdapat pada masyarakat perkotaan adalah
dominan dalam relasi sosial antar individu. Unsur kedua, collective
orientation, yaitu relasi sosial yang ditandai oleh kerjasama antar
individu dalam kelompok. Tujuan individu adalah pencapaian tujuan bersama.
Kebalikannya, self orientation, individu melakukan tindakan bila
menguntungkan dirinya. Unsur ketiga, particularism, relasi kekerabatan,
keluarga, teman adalah hubungan khusus dalam relasi Sosial. Universalism merupakan
ciri masyarakat modern, yang ditunjukkan dengan kaidah-kaidah umum dalam relasi
sosial yang disesuaikan dengan kualifikasi atau yang dibutuhkan. Unsur keempat,
ascription, berorientasi pada keturunan atau takdir. Pada masyarakat
tradisional, masih terlihat budaya fatalistik (pasrah pada nasib), sebaliknya
pada masyarakat modern terdapat achievement, yang berupaya mencapai
keberhasilan, yang kemudian berdampak pada mobilitas vertikal. Unsur terakhir –
kelima – diffuseness adalah relasi sosial yang bercampur-baur,
sehingga seringkali tidak jelas tujuannya dan sulit ditafsirkan. Diffuseness
banyak terlihat di masyarakat tradisional, berbeda dengan specificity
yang tanpa basa-basi, langsung ke pokok persoalan sehingga relasi sosial pada
masyarakat modern bersifat lebih terbuka, memiliki tujuan spesifik dan
jelas.(Sanggar Kanto, 2006: 58-60)
Berdasarkan cluster pattern variables sebagaimana
ditunjukkan di atas, Parsons menyediakan pisau analasis lebih lanjut
tentang relasi sosial yang ditipologikan
secara dikotomis oleh Tonnies dalam gemeinschaft and gesellschaft.
Dengan menyediakan sebuah perangkat kategori untuk
mengklasifikasi orientasi subjektif, pattern variables merupakan
representasi dari kelanjutan analisis awal tentang karakteristik umum dari
tindakan sosial voluntaristik. Asumsi pattern variables adalah nilai
yang diterapkan bersifat situasional, karenanya terdapat beberapa perbedaan.
Analisis Parsons tentang bagaimana orientasi individu, berhubungan
dengan dinamika dari sistem sosial untuk memenuhi persyaratan fungsional
mereka, terutama masyarakat secara keseluruhan.
(Johnson, 2008: 316)
Melalui penjelasan yang berbeda,
Turner (1999: 173-174) juga melihat bahwa institusi budaya dan pattern variables
kenyataannya secara langsung berhubungan
dengan analisis awal Parsons tentang tindakan voluntaristik.
Hubungan tersebut dapat dilihat melalui dua arah. Pertama, Parsons ingin
menunjukkan bahwa pertukaran antara kepribadian dan sistem budaya mempunyai
implikasi penting bagi stabilitas sistem sosial. Di sini para aktor sosial
menginternalisasi melalui sosialisasi dalam keluarga, kemudian dalam kaitan
dengan kepribadian (personality),
mereka menerima kepuasan dalam penyesuaian dengan pola dominan dari
nilai yang ada dalam sistem sosial. Ada
ketidaktentuan ganda (double contingency) antara aktor dan kultur.
Sistem budaya diperkuat dengan tindakan melalui penyesuaian dengan kultur yang
dominan. Aktor sosial menerima kepuasan pada kepribadian sebagai konsekuensi
dari pengemban tindakan yang harmonis dengan nilai-nilai dominan. Keteraturan
sosial adalah karena aktor sosial diganjar untuk dukungan mereka.
Kedua,
Penilaian tentang pattern variables merupakan pertanyaan dari
Hobbesian tentang masalah keteraturan. Relasi sosial bekerja tidak dengan cara
acak, namun terstruktur dengan pola nilai fundamental dengan tindakan yang
memaksa secara moral. Lebih lanjut, dalam uraiannya tentang tindakan universalistic,
affectively neutral, collective, specific and achievement-oriented, Parsons memberi penilaian, bahwa
tindakan sosial berbeda kuat dengan tindakan yang berorientasi-pasar
(kapitalistik). Merupakan sesuatu yang krusial untuk melihat pattern
variables sebagai jantung, tidak hanya bila dihubungkan dengan pandangannya
tentang perilaku para profesional modern, namun pada sosiologi itu sendiri.
Sesungguhnya,
Parsons menuju kesimpulan dari studinya, berargumen dengan sungguh bahwa
teori sosiologi adalah aspek dari teori sistem sosial yang terkait dengan
fenomena dari pelembagaan pola orientasi-nilai dalam sistem sosial.
Keragaman bentuk dari diferensiasi sosial yang
direpresentasikan dalam pattern variables dibangun dengan arah teoritis
dan historis. Secara teoritis, “pattern
variables - they were a bridge into the four-function or AGIL”.
These may be listed as follows, but in no particular order of priority.
The adaptive (A) challenge, comprises interaction between society and
outer nature, generating resources available for social distribution. The
goal-attainment (G) challenge involves the setting of resources to meet
human goals. The integration (I) challenge is concerned with the
harmonization of the entire social system, including A, I and L elements,
through effective norms. The latent pattern-maintenance (L) challenge,
which involves interaction with society and the inner metaphysical environment,
and is concerned with the stabilization
of the ultimate values held by individuals into patterns of social values.
(Holton, 2003:155)
[1] George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
131
[2] Ibid, 132
[3] Irving M. Zeitlin, Memahami
Kembali Sosiologi Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press: 1995), 28.
[4] Ibid, 29.
[5] Ibid, 30.
[6] Ibid, 31.
Did you know there is a 12 word phrase you can communicate to your partner... that will trigger intense emotions of love and instinctual attractiveness for you buried inside his chest?
ReplyDeleteThat's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, cherish and care for you with all his heart...
12 Words That Trigger A Man's Desire Response
This impulse is so built-in to a man's genetics that it will drive him to work better than ever before to love and admire you.
In fact, fueling this mighty impulse is so mandatory to achieving the best ever relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...
...You will immediately find him open his heart and soul to you in a way he's never expressed before and he will perceive you as the only woman in the universe who has ever truly understood him.
nice info thank you kak
ReplyDeletefree thinker indonesia