Saturday, July 7, 2018

Teori struktural fungsional


TEORI STRUKTURAL - FUNGSIONAL

Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur ‎yang berada di luar diri pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana ‎pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan ‎mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa ‎dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan struktur.
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan ‎hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat ‎seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.

  1. Emile Durkheim
Durkheim adalah orang pertama yang menunjukkan ‘fakta sosial’ (social fact) sebagai pokok persoalan yang harus dipelajari oleh disiplin Sosiologi. Fakta sosial dinyatakannya sebagai  sesuatu yang berbeda dari dunia ide, yang menjadi sasaran penyelidikan dari filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial tidak dapat dipelajari dan dipahami dengan hanya melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari objek studinya. Dengan menerangkan tentang objek penyelidikan Sosiologi inilah Durkheim berusaha untuk melepaskan Sosiologi dari pengaruh filsafat positif Comte dan Spencer yang mengarahkan Sosiologi kepada dunia ide, yang hanya dapat dipahami melalui pemikiran spekulatif.
Teori Struktural-Fungsional yang dasar-dasarnya diletakkan oleh Durkheim mendapat tantangan yang tajam dari penganutnya yaitu George Homans. Homans melihat bahwa fungsionalisme telah gagal mengembangkan penjelasan mengenai perkembangan struktural. Salah satu kritik terhadap fungsionalisme adalah diabaikannya studi tentang individu. Teori Fungsional-Struktural yang disebut sebagai “sosiologi murni atau ekstrem” dan berjaya dalam perkembangan sosiologi di Amerika,  mengalami pergeseran ketika psikologi masuk ke ranah sosiologi dan “campuran sosiologi dan psikologi’ menjadi bagian yang penting dalam perkembangan sosiologi di Amerika mulai tahun 1920-an. Di sinilah kemudian pendulum teori bergeser dari paham “sosiologi  ekstrem” ke arah suatu evolusi ulang tentang peranan individu dalam sistem sosial. (Paloma, 2007: 51-54)
Fokus dari Sosiologi di  sini adalah kajian terhadap perilaku manusia dalam kehidupan berkelompok, dan bagaimana orang-orang saling berhubungan satu sama lain. “Sociology focuses on the study of human behavior”. ( Schaefer, 2009:9 ). “The study of group behavior and how people relate to each other.” (Gibson, et al., 2009:7).
 Pembicaraan mengenai masyarakat sebagai kajian sosiologis, harus diberikan makna sebagai homo socius, manusia yang saling berinteraksi satu sama lain, yang diwujudkan oleh perilaku individu-individu dalam suatu komunitas manusia. Kenyataan tersebut telah mendorong para peneliti dan ilmuwan untuk lebih memfokuskan aspek perilaku manusia dalam berkelompok, yang kemudian dikenal sebagai behavioral sociology.
Behavioral  Sociology  adalah kajian sosiologi yang berorientasi positivistik. Meskipun behaviorisme lebih dikenal dalam ilmu psikologi, namun dalam sosiologi ia memiliki efek langsung pada sosiologi perilaku. Hal yang menarik dari sosiolog behavioris ini adalah pendapatnya tentang imbalan (dorongan) dan ongkos (hukuman) dalam teori pertukaran, dan aktor yang dipandang sarat memiliki tujuan  atau maksud dalam teori pilihan rasional. ( Ritzer & Goodman, 2008:447-449).
Secara paradigmatis, behavioral sociology oleh Ritzer dimasukkan sebagai paradigma perilaku sosial.
The social facts paradigm derives its name and orientation from the work of Émile Durkheim and his contention that sociology should involve the study of social facts that are external to and coercive over individuals. He distinguished between two broad types of social facts – material (now most commonly called social structures) and non-material (now usually called social institutions). The two major theories subsumed under this heading are structural functionalism and conflict theory, and to a lesser extent systems theory. The social definition paradigm derives its name from W. I. Thomas's “definition of the situation” (if people define situations as real, they are real in their consequences). Symbolic interactionism is a theoretical component of the social definition paradigm, as is ethnomethodology. Finally, there is the social behavior paradigm, adopting a focus on behavior from the psychological behaviorists, especially B. F. Skinner. Exchange theory and rational choice would be included in this paradigm.
(Ritzer, www.blackwellreference.com)
Fakta-Fakta Sosial Emile Durkheim
Untuk membantu teori sosial menjauhkan diri dari filsafat dan untuk memberinya suatu identitas yang jelas dan terpisah, Durkheim (1895/1982) mengusulkan agar pokok masalah sosiolog yang khas harusnya ialah mempelajari fakta-fakta sosial (liat M.Gane, 1988;Gilbert, 1994; Nielsen, 2005a, 2007a; dan edisi istimewa Sociological Perspectives [1995]). Ringkasnya, fakta-fakta sosial adalah struktur-struktur sosial dan norma-norma dan nilai-nilai kultural yang eksternal bagi, dan bersifat memaksa kepada, para aktor. Para mahasiswa, misalnya, dibatasi oleh struktur-struktur sosial seperti birokrasi universal dan juga norma-norma serta nilai-nilai masyarakat Amerika, yang member arti penting yang besar pada pendidikan perguruan tinggi. Fakta-fakta sosial yang sama memaksa orang-orang yang ada di semua wilayah kehidupan sosial.
            Hal yang sangat penting dalam pemisahan teori sosial dari filsafat adalah ide bahwa fakta-fakta sosial diperlakukan sebagai “benda-benda” (S.Jones, 1996) dan dipelajari secara empiris. Hal itu berarti bahwa kita harus mempelajari fakta-fakta sosial dengan memperoleh data dari luar pikiran-pikiran kita sendiri melalui pengamatan dan eksperimentasi. Studi empiris fakta-fakta sosial sebagai benda-benda memisahkan teori sosial Durkheimian dari pendekatan-pendekatan yang lebih filosofis.[1] Durkheim memberikan dua cara mendefinisikan suatu fakta sosial sehingga teori sosial dibedakan dari psikologi. Pertama, suatu fakta sosial dialami sebagai suatu paksaan eksternal ketimbang suatu dorongan internal; kedua, fakta sosial merupakan hal yang umum di seluruh masyarakat dan tidak melekat pada setiap individu khusus.[2]            Durkheim sendiri memberi beberapa contoh mengenai fakta-fakta sosial, termasuk aturan-aturan hukum, kewajiban-kewajiban moral, dan konvensi-konvensi sosial. Dia juga mengacu kepada bahasa sebagai suatu fakta sosial, dan member suatu contoh yang mudah dimengerti. Pertama, bahasa adalah suatu “benda” yang harus dipelajari secara empiris. Orang tidak dapat hanya berfilsafat tentang aturan-aturan logis bahasa. Tentu saja, semua bahasa mempunyai beberapa aturan logis mengenai tata bahasa, pengucapan, pengejaan, dan sebagainya;akan tetapi, semua bahasa juga mempunyai perkecualian yang penting bagi aturan-aturan logis itu (Quine, 1972). Apa yang mengikuti aturan-aturan dan apa yang merupakan perkecualiannya harus ditemukan secara empiris dengan mempelajari penggunaan bahasa actual, khususnya karena penggunaan bahasa berubah seiring dengan waktu dalam cara-cara yang tidak dapat diprediksi secara lengkap.
            Kedua, bahasa bersifat eksternal bagi individu. Meskipun para individu menggunakan suatu bahasa, bahasa tidak didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Fakta bahwa para individu menyesuaikan bahasa kepada pemakaian mereka sendiri mengandaikan bahwa bahasa pertama-tama eskternal bagi individu dan membutuhkan adaptasi untu penggunaan individual. Sebenarnya, beberapa filsuf (Kripke, 1982; Wittgenstein, 1953) telah berargumen bahwa tidak mungkin ada hal seperti bahasa pribadi. Suatu koleksi kata-kata yang hanya mempunyai makna pribadi tidak akan dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa karena ia tidak melaksanakan fungsi dasar suatu bahasa: komunikasi. Bahasa, menurut definisinya, bersifat sosial dan oleh karena itu bersifat eksternal bagi setiap individu khusus.
            Ketiga, bahasa bersifat memaksa individu. Bahasa yang kita gunakan membuat beberapa hal teramat sulit dikatakan. Contohnya, orang yang bergaul seumur hidup dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama mempunyai saat yang sangat sulit untuk menyebut satu sama lain. Apakah mereka satu sama lain harus saling menyebut “mitra” yang akan membuat orang berfikir bahwa mereka mempunyai bisnis bersama “orang lain yang penting,” ”kekasih,” ”pasangan,” ”teman istimewa”? Tiap sebutan tampaknya mempunyai kerugian. Bahasa adalah bagian dari fakta-fakta system sosial yang membuat kehidupan dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama sulit, andaipun setiap individu secara pribadi menerima hubungan dari jenis kelamin yang sama.
            Akhirnya, perubahan-perubahan di dalam bahasa hanya dapat dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain dan tidak pernah oleh maksud-maksud seorang individu. Sekalipun di dalam contoh-contoh yang jarang ada ketika suatu perubahan di bidang bahasa dapat dilacak pada seorang individu,  penjelasan yang actual untuk perubahan itu adalah fakta-fakta sosial yang telah membuat masyarakat terbuka terhadap perubahan itu. Contohnya, sebagian besar bagian bahasa yang dapat diubah adalah jargon, yang nyaris selalu berasal dari suatu kelompok sosial marginal. Kita dapat mengasumsikan bahwa seorang individu merupakan asal pertama suatu istilah hargon, tetapi individu yang mana, tidak relevan. Fakta kelompok sosial marginalnyalah yang benar-benar menjelaskan sejarah dan fungsi jargon itu.

Tipe-tipe Fakta-fakta Sosial Nonmaterial
1.      Moralitas, Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah suatu fakta sosial, denan kata lain, bahwa moralitas dapat dipelajari secara empiris, eksternal bagi individu, bersifat memaksa individu, dan dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Hal ini berarto bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang dapat difilsafati orang, tetapi sesuatu yang harus dipelajari sebagai suatu fenomena empiris. Kedua, Durkheim adalah seorang teoritikus moralitas karena studi-studinya didorong oleh perhatiannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern. Banyak teori sosial Durkheim dapat dilihat sebagai produk sampingan perhatiannya kepada isu-isu moral. Sungguh, seorang kolega Durkheim menulis di dalam tinjauan mengenai karya seumur hidup Durkheim bahwa “orang akan gagal memahami karya-karyanya jika tidak memperhitungkan fakta bahwa moralitas adalah pusat dan objeknya.
2.      Nurani Kolektif, Durkheim mencobamenguraikan minatnya kepada moralitas umum dengan  berbagai cara dan dengan konsep-konsep yang berbeda. Dalam usaha awalnya menangani isu tersebut, Durkheim mengembangkan ide mengenai nurani kolektif (collective conscience). Dalam bahasa Prancis, kata conscience berarti baik “consciousness” (kesadaran) maupun “nurani moral”. Durkheim mencirikan nurani kolektif dengan cara berikut:
Totalitas kepercayaan-kepercayaam dan sentiment-sentimen yang lazim bagi rata-rata warga dari masyarakat yang sama membentuk suatu sistem tertentu yang mempunyai kehidupannya sendiri;orang dapat menyebutnya nurani kolektif atau nurani bersama. Oleh karena itu, nurani kolektif adalah hal yang berbeda sama sekali dari nurani-nurani khusus, meskipun ia dapat disadari hanya melalui nurani-nurani khusus itu.

3.      Representasi Kolektif
Karena nurani kolektif merupakan suatu ide yang begitu luas dan tidak berbentuk, mustahil mempelajarinya secara langsung dan harus mendekatinya melalui fakta-fakta sosial material yang terkait. (Contohnya, kita akan melihat penggunaan sIstem legal oleh Durkheim untuk menyatakan sesuatu tentang nurani kolektif.) Ketidakpuasan Durkheim dengan keterbatasan tersebut menyebabkan dia tidak begitu banyak menggunakan nurani kolektif di dalam karyanya yang belakangan karena lebih menyukai konsep yang jauh lebih spesifik yakni representasi kolektif (Nemedi, 1995;Schmus, 1994). Dalam bahasa Prancis representation berarti “ide”. Durkheim menggunakan istilah itu untuk mengacu baik kepada suatu konsep kolektif adalah simbol-simbol agamis, mitos-mitos, dan legenda-legenda popular. Semua itu adalah cara-cara masyarkat mencerminkan dirinya sendiri (Durkheim, 1895/1982;40). Mereka menggambarkan kepercayaan-kepercayaan, norma-norma, dan nilai-nilai kolektif, dan mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada klaim-klaim kolektif itu.
4.      Arus Sosial
Sebagian besar contoh fakta-fakta sosial yang diacu Durkheim adalah yang berkaitan dengan organisasi-organisasi sosial. Akan tetapi, dia menjelaskan bahwa ada fakta-fakta sosial “yang tidak menggambarkan dirinya di dalam bentuk yang sudah dikristalisasi ini”(1985/1982:52). Durkheim menyebut hal itu arus-arus sosial. Dia member contoh “gelombang-gelombang besar semangat, kemarahan, dan rasa kasihan” yang dihasilkan di dalam pergaulan-pergaulan publik (Durkheim, 1895/1982: 52-53). Meskipun arus-arus sosial kurang konkret daripada fakta-fakta sosial, namun tetap merupakan fakta-fakta sosial karena tidak dapat direduksi menjadi individu. Kita dibawa serta oleh arus sosial semacam itu, dan arus itu mempunyai suatu daya memaksa kepada kita meskipun kita baru menyadarinya bila kita berjuang melawan perasaan-perasaan bersama.

The Division of Labor in Society
The Division of Labor Society (Durkheim, 1893/1964; Gibbs, 2003) telah disebut sebagai karya klasik pertama sosiologi (Tiryakian, 1994). Di dalam karya tersebut, Durkheim melacak perkembangan relasi modern di antara para individu dan masyarakat. Secara khusus, Durkeim ingin menggunakan ilmu sosiooginya yang untuk memeriksa apa yang oleh banyak orang pada masa itu telah dilihat sebagai krisis moralitas modern. Pengantar kepada edisi pertama dimulai, dengan:”Buku ini terutama merupakan suatu upaya untuk memperlakukan fakta-fakta kehidupan moral menurut metode-metode ilmu-ilmu positif.”

Solidaritas Mekanis dan Organik
Perubahan di dalam pembagian kerja mempunyai implikasi-implikasi yang sangat besar bagi struktur masyarakat. Durkheim paling tertarik pada cara yang berubah yang menghasilkan solidaritas sosial, dengan kata lain, cara yang berubah yang mempersatukan masyarakat dan bagaimana para anggotanya melihat dirinya sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Untuk menangkap perbedaan tersebut, Durkheim mengacu kepada dua tipe solidaritas mekanis dan organik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanis bersatu karena semua orang adalah generalis. Ikatan di antara orang-orang itu ialah karena semua orang terlibat di dalam kegiatan-kegiatan yang mirip dan mempunyai tenggung jawab-tanggung jawab yang mirip. Sebaliknya, suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas organic dipersatukan oleh pendekatan-pendekatan di antara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggungjawab yang berbeda.

Norma dan Patologis
Mungkin klaim-klaim Durkheim yang paling controversial ialah bahwa sang teoritikus mampu membedakan antara masyarakat yang sehat dan patologis. Setelah menggunakan ide itu di dalam The Division of Labor, Durkheim menulis buku lain, The Rules of Sosiological Method (1895/1982). Di dalam buku tersebut, antara lain, Durkheim mencoba memperbaiki dan membela ide itu. Dia mengklaim bahwa masyarakat yang sehat dapat dikenali karena sang teoritikus akan menemukan kondisi-kondisi serupa di dalam masyarakat-masyarakat lain pada tahap-tahap yang serupa. Jika suatu masyarakat menyimpang dari apa yang ditemukan secara wajar, mungkin masyarakat itu patologis.
Di dalam The Division of Labor, dia memggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk “abnormal” pembagian kerja yang diterima di dalam masyarakat modern. Dia mengenali tiga bentuk abnormal: (1) Pembagian kerja anomik, (2) pembagian kerja yang dipaksakan, dan (3) pembagian kerja yang dikoordinasikan dengan buruk. Durkheim bersikeras bahwa krisis moral modernitas, yang oleh Comte dan orang-orang lain disamakan dengan pembagian kerja, sebenarnya disebabkan oleh bentuk-bentuk abnormal tersebut.
Suicide
Telah disarankan bahwa studi Durkheim atas bunuh diri adalah contoh paradigmatik mengenai cara seorang teoritikus harus menghubungkan teori dan riset (Merton, 1968). Sungguh, Durkheim membuat hal itu jelas di dalam “Prakata” bahwa dia memaksudkan studinya bukan hanya untuk member sumbangan bagi pemahaman suatu masalah sosial tertentu, tetapi juga untuk berlaku sebagai contoh untuk metode teori sosialnya yang baru. (Untuk serangkaian penaksiran Suicide hampir 100 tahun setelah publikasinya, lihat Lester, 1994)
Durkheim memilih untuk mempelajari bunuh diri karena itu adalah suatu fenomena yang relative konkret dan spesifik yang memiliki data yang agak baik. Akan tetapi, alasan Durkheim yang paling penting untuk mempelajari bunuh diri ialah membuktikan kekuatan ilmu teori sosial yang masih baru. Bunuh diri secara umum dipandang sebagai salah satu dari tindakan-tindakan yang paling pribadi dan personal. Durkheim percaya bahwa jika dia dapat menunjukkan bahwa teoritikus mempunyai  suatu peran untuk dimainkan di dalam menjelaskan tindakan yang tampak individualistik seperti bunuh diri, hal itu akan relatif mudah untuk memperluas domain teori sosial kepada fenomena yang jauh lebih siap dilihat sebagai hal yang terbuka kepada analisis sosiologis.

Empat Tipe Bunuh Diri
            Teori bunuh diri dapat dilihat dengan lebih jelas jika kita memeriksa hubungan di antara tipe-tipe bunuh diri dan kedua fakta sosial yang mendasarinya intergrasi dan regulasi (Pope, 1976). Integrasi mengacu kepada kekuatan keterkaitan yang kita miliki pada masyarakat. Regulasi mengacu kepada derajat paksaan eksternal pada masyarakat. Bagi Durkheim kedua arus sosial itu adalah variable-variabel yang berkelanjutan, dan angka bunuh diri meningkat bila salah satu dari arus tersebut terlalu rendah atau terlalu tinggi. Oleh karena itu, kita mempunyai empat tipe bunuh diri altruistik. Integrasi yang rendah menyebabkan peningkatan di dalam bunuh diri egoistik. Bunuh diri Fatalistik dikaitkan dengan regulasi yang tinggi, dan bunuh diri anomik dengan regulasi yang rendah.
1.      Bunuh Diri Egoistik
Angka-angka bunuh diri egoistik yang tinggi (Berk, 2006) besar kemungkinan ditemukan di dalam masyarakat-masyarakat atau kelompok-kelompok tempat individu tidak terintegrasi dengan baik ke dalam unit sosial yang lebih besar. Kurangnya integrasi itu menyebabkan perasaan bahwa individu itu bukan bagian dari sang individu. Durkheim percaya bahwa bagian-bagian terbaik seorang manusia moralitas, nilai-nilai, dan perasaan mempunyai maksud berasal dari masyarakat. Suatu masyarakat yang terintegrasi memberikan hal-hal itu kepada kita, dan juga perasaan umum mendapat dukungan moral memampukan kita menghadapi penghinaan-penghinaan kecil dan kekecewaan-kekecewaan sepele dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa hal tersebut, besar kemungkinan kita melakukan bunuh diri karena frustasi yang paling kecil sekalipun.
2.      Bunuh Diri Alturistik
Tipe kedua bunuh diri yang didiskusikan oleh Durkheim adalah bunuh diri altruistik. Sementara bunuh diri egositik lebih mungkin terjadi ketika integrasi sosial terlalu lemah, bunuh diri altruistik lebih mungkin terjadi ketika “integrasi sosial terlalu kuat “(Durkheim, 1897/1951:217). Individu secara harfiah dipaksa untuk melakukan bunuh diri.
Satu contoh bunuh diri altruistik yang terkenal buruk ialah bunuh diri missal para pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana, pada 1978. Mereka secara sadar menenggak minuman beracun, dan dalam beberapa kasus juga menyuruh anak-anak mereka ikut minum. Mereka jelas melakukan bunuh diri karena mereka terintegritas begitu ketat ke dalam serikat pengikut fanatik Jones. Durkheim mencatat bahwa hal itu juga merupakan penjelasan bagi orang-orang yang berusaha menjadi martir (Durkheim, 1897/1951:225), seperti di dalam serangan teroris pada 11 September 2001. Secara lebih umum, orang-orang yang melakukan bunuh diri altruistik melakukannya karena mereka merasa tugas merekalah untuk berbuat demikian. Durkheim berargumen bahwa hal tersebut secara khusus mungkin terjadi di militer, di mana tingkat integritas begitu kuat sehingga seorang individu merasa baha dia telah mempermalukan seluruh kelompok dengan kegagalan-kegagalan, bahkan yang paling sepele sekalipun.
3.      Bunuh Diri Anomik
Bentuk bunuh diri ketiga yang utama yang didiskusikan oleh Durkheim adalah bunuh diri anomik, yang lebih mungkin terjadi ketika kekuasaan-kekuasaan pengatur masyarakat terganggu. Kekacauan-kekacauan tersebut mungkin membuat para individu kecewa sedikitnya pengendalian atas nafsu-nafsu mereka, yang bebas merajalela dalam perlombaan yang tidak kenal puas untuk mencapai kepuasan. Angka bunuh diri anomik lebih mungkin muncul entah karena sifat kekacauan yang positif (misalnya, ledakan ekonomi) atau karena sifatnya negatif (depresi ekonomi). Kedua tipe kekacauan itu membuat kolektivitas untuk sementara tidak mampu menjalankan otoritasnya terhadap para individu. Perubahan-perubahan demikian menempatkan orang-orang di dalam situasi baru di mana norma-norma lama tidak berlaku lagi tetapi norma-norma baru belum berkembang. Periode-periode kekacauan melepaskan arus-arus anomie suasana hati tidak berakar dan tidak bernorma dan arus-arus itu menyebabkan peningkatan dalam angka bunuh diri anomik. Hal itu agak mudah dibayangkan di dalam kasus suatu depresi ekonomi. Penutupan sebuah pabrik karena depresi dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan, dengan hasil bahwa sang individu terputus dari efek regulatif yang mungkin dipunyai oleh perusahaan dan pekerjaan itu. Terputus dari struktur-struktur tersebut atau struktur yang lain (contohnya keluarga, agama, dan negara) dapat membuat seorang individu menjadi sangat rapuh terhadap efek arus-arus anomie.
4.      Bunuh Diri Fatalistik
Ada tipe bunuh diri yang sedikit disebutkan fatalistik yang didiskusikan Durkheim hanya di dalam catatan kaki di dalam Suicide (Acevedo, 2005:Besnard, 1993). Sementara bunuh diri anomik lebih mungkin terjadi di dalam situasi-situasi ketika regulasi terlalu lemah, bunuh diri fatalistik lebih mungkin terjadi ketika regulasi terlalu berlebihan. Durkheim (1897/1951:276) melukiskan orang-orang yang lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri fatalistik sebagai “pribadi-pribadi dengan masa depan yang terhalang tanpa ampun dan nafsu-nafsu yang dicekik dengan kasar oleh disiplin yang bersifat menindas”. Contoh klasiknya ialah budak yang merenggut nyawanya sendiri karena keadaan tanpa harapan terkait dengan pengaturan yang bersifat menindas atas setiap tindakannya. Terlalu banyak pengaturan penindasan, membebaskan arus-arus kemurungan jiwa, yang pada gilirannya, menyebabkan peningkatan di dalam angka bunuh diri fatalistik.

  1. Talcott  Parson
Titik perangkat Person adalah adanya “interaksi aktro-aktor individu di bawah kondisi yang mendorong kita menggunakan interaksi mereka sebagai suatu system di dalam pengertian keilmuan dan mengontrol tatanan analisa teoritis yang sama di mana telah berhasil diterapkan pada jenis system lain di dalam ilmu-ilmu lainnya. Sistem paling sederhana dari interaksi tersebut adalah yang bersifat “hubungan berpasangan”, seperti antara ego dan alter, yang dalam analisa terakhirnya menyatakan bahwa organism-organisme bukanlah tindakan-tindakan yang secara memadai dapat dimengerti melalui referensi terhadap sistem biologisnya atau fisiokimiawi. Interaksi sosial harus dipahami pada tingkatannya sendiri dan bukan dikurangi oleh faktor-faktor yang bukan sosial, walaupun hal seperti ini bida jadi relevan. Oleh karena itu Parsons lebih suka berbicara tentang tindakan dari seorang aktor dan keadaan tindakannya dari pada perilaku organism dan lingkungannya. Posisinya makin jelas bila dibedakan dari kelompok behavioris.
            Ego dan alter merupakan aktor-aktor sosial yang berlaku spesifik dan berperan secara timbal balik sehingga “harapan-harapan yang sifatnya pelengkap khususnya dibentuk di antara mereka. Sifat pelengkap ini sebagaimana yang akan kita lihat, merupakan dasar dari keseimbangan system. Ego memberikan ganjaran seluruh tindakan alter yang menyesuaikan dengan harapan-harapan ego, dan sebaliknya menghukum seluruh tindakan yang tidak seiraia, jadi secara timbal balik alter memberi ganjaran dan hukuman terhadap tindakan-tindakan ego.[3]
            Jadi kepribadian merupakan suatu aspek sistem sosiokultural. Para individu menginternalisasikan aspek-aspek dari pola-pola nilai yang dilembagakan itu dan secara khas menerapkan peranan-peranan secara wajar dan di saat mereka tidak melakukan hal itu, misalnya di saat mereka menyimpang maka mereka dikembalikan lagi ke dalam suatu garis melalui beberapa saknsi negatif. Dalam terminologi seperti ini ada suatu “sektor umum” dari keduanya, yakni bagi kepribadian dan sistem sosial.[4]
            Tiga aspek utama tentang tindakan yang oleh Parsons disebut kognitif, katektik, dan evaluative, yakni “tiga model dari orientasi motivasional”. Hal ini setidak-tidaknya mengacu kepada perbedaan psikologi klasik yang terkenal tentang dimensi kognitif, katektik dan konatif. Menurut Parsons, kognitif merujuk kepada definisi seorang aktor tentang situasi dalam terminologi kepentingannya, karektik merupakan pengujian seorang aktor untuk kepuasannya,sedangkan evaluatif merujuk kepada pilihan sang aktor dan tatanan dari alternatifnya. Seorang aktor dapat menunggu secara pasif pada kejadian-kejadian yang muncul, yakni suatu keadaan yang disebut “antisipasi”, atau dia dapat mencarinya secara aktif demi pencapaian atau menghindarinya, yaitu keadaan yang disebut “arah tujuan” yang kemudian menjadi “karakteristik yang mendasar dari seluruh tindakan. Teori tindakan percaya pada anggapan yang mendasar di mana interaksi makhluk social itu didasarkan pada seperangkat sistem bahasa, tetapi juga bias makna-makna simbolik lainnya yang melengkapi suatu tradisi budaya.[5]
            Secara logika tiga sistem independen tersebut, yakni sosial, budaya dan kepribadian ternyata di dalam suatu tindakan semuanya sangat terkait. Jika pertama kali diambil budaya maka elemen-elemen lainnya dikaji, dikumpulkan dan dipindahkan. Akhir dari karakteristik ini, yakni pewarisan atau pemindahan, suatu fajka bahwa seperangkat elemen itu tidak hanya dilalui terhadap generasi berikutnya tetapi juga dapat dilemburkan dari satu sistem kepada yang lain.”yang berfungsi sebagai kriteria yang paling penting untuk membedakan suatu budaya dari system social. Berkaitan dengan sistem sosial yang khusus, hal ini merupakan suatu “pola elemen” yang secara analitis dan empiris bias diabstraksikan dari sistem sosial yang khusus tersebut”.[6]
            Prasyarat-prasyarat fungsional yang dikemukakan Parsons mirip dengan yang pernah kita gugat pada Averle ( dan kawan-kawan). Suatu sistem social tidak harus bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan utama dari individu, aktor-aktor yang berpartisipasi atau dengan sistem kultural yang terintegrasi secara stabil. Sebaliknya sistem budaya dan sistem kepribadian harus mendukung system social. Pada aktor harus dimotivasi memenuhi peranan-peranan yang dibutuhkannya dan pola-pola budaya harus menguntungkan tatanan yang minimal.

                                              Talcott Parsons dan Pattern Variables

Dewasa ini tradisi Parsonian sedang mengalami pembaharuan yang menakjubkan. Meskipun dinyatakan mati oleh banyak sosiolog selama tahun 1970-an, tetapi yang mengejutkan di tahun 1980-an muncul sejumlah pendekatan baru yang ingin membangun kembali teori Parsonian pada tingkatan yang samasekali baru.
(Munch, 2008:195)

Whether or not one agrees with Parsons’ version of sociology, I believe we have to respect Parsons as a committed scientist, whose own life was also shaped by the pattern variables he sought to describe in The Social System.
 (Turner,1999) 


            Parsons adalah penyokong grand theory yang berusaha untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial di dalam suatu lingkup kerangka kerja teoritis. Dalam karya awalnya The Structure of Social Action (1937), ia meninjau pekerjaan dari pendahulunya, terutama Max Weber, Vilfredo Pareto, dan Émile Durkheim, dan berusaha mendapatkan dari toritisi tersebut satu “teori tindakan” yang didasarkan atas asumsi bahwa tindakan manusia adalah voluntaristik, intensional dan simbolis. Dalam karya selanjutnya The Social System (1951), ia menyebut sistem sosial terdiri dari beragam aktor yang berinteraksi satu dengan yang lain dalam suatu situasi yang terkait dengan aspek fisik atau lingkungan, dan aktor termotivasi karena tendensi pada "optimization of gratification.” (http://www.newworldencyclopedia).  Dalam The Social System ini, Parsons bersama dengan  general theory tentang tindakan, memapankan diri sebagai figur sentral dalam fungsionalisme-struktural (Turner, 2005:xiii).
            Parsons menggagas fungsionalisme struktural berada di tengah sosiologi klasik, yang melihat  totalitas masyarakat dalam suatu periode waktu, sebagaimana terlihat dari ilustrasi teori dasar ”hukum tiga tahap” Auguste Comte. Kemudian   diteruskan dengan evolusi solidaritas organis ke mekanis dari E. Durkheim yang  terbentuk pembagian kerja yang besar,  perubahan dalam sistem hukum ”sirkulasi elit” lewat periode inovasi, yang diikuti oleh aturan yang lebih konservatif dari Vilfredo Pareto, dan analisis Max Weber tentang peningkatan sifat-sifat rasional masyarakat modern. Dalam tradisi teoritis dasar inilah Talcott Parsons memilih karyanya, dan ia berusaha  untuk memadukan kekayaan teoritis sosiologi klasik ke dalam suatu teori total dan komprehensif.(Poloma, 2007: 167-168)
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sosiologi modern, pemaduan kekayaan teori klasik dalam teori fungsional telah dibangun dengan sangat sistematis oleh Talcott Parsons. Meskipun Parsons pada awal karirnya berkontribusi untuk mengintegrasikan beberapa perspektif menuju suatu teori tindakan sosial yang komprehensif, ia lebih dikenal dengan analisis struktural/fungsional dalam segala aspek di masyarakat. Dengan dua karya The Structure of Social Action (1937) yang menghasilkan pendekatan valuntaristic theory of social action dan The Social System (1951)  tersebut, Paul Doyle Johnson (2008:209-210) menyimpulkan  bahwa teori fungsional yang selalu dilihat sebagai hal yang relevan untuk analisis di level makro, dalam kenyataannya dapat diaplikasikan dalam semua level sistem sosial, termasuk level mikro dan meso.
Di sisi lain, terkait dengan The Structure of Social Action, menjadi penting menurut  Munch (2008: 198) untuk melihat apakah valuntaristic theory of social action menjadi positivistik atau idealistik. Untuk menjawab ini, yang diperlukan adalah sebuah metateori yang mengintegrasikan pendekatan-pendekatan metodologis (idiografis, tipe ideal, nomologis, konstruktivistik), diteruskan dengan metode-metode penjelasan positivistik (kausal dan teleonomik), dan tingkatan teori-objek dengan utilitarianisme,  serta konflik sebagai varian positivisme, sedangkan sosiologi dunia- kehidupan dan rasionalisme budaya sebagai varian idealisme.
Hampir senada dengan Munch, Holton (2003: 153) melihat bahwa Parsons mempunyai perhatian tentang dua isu teoritis yang menjadi inti   di atas semua isu-isu teoritis.  Dua hal tersebut adalah permasalahan tentang tindakan sosial dan permasalahan tentang keteraturan sosial.  Permasalahan tindakan sosial mempertanyakan mengapa para aktor bertindak dengan cara mereka, seberapa jauh tindakan mereka distrukturkan melalui pengaruh kontrol di luar mereka, konsekuensinya apa, tak sengaja atau disengaja, dan seterusnya. Permasalahan  tentang keteraturan sosial adalah bagaimana mungkin memperlakukan keragaman tndakan sosial menuju pemolaan sosial, dan seberapa jauh pemolaan bergantung pada pemaksaan atau tekanan, sebagai perlawanan dari  konsensus.
Berkaitan dengan tindakan variasi orientasi subjektif, teori Parsons yang sangat terkenal adalah Pattern Variables. Dalam valuntaristic theory of social action, Parsons berargumen, bahwa perilaku manusia terdiri dari pilihan-pilihan yang dibuat oleh orang-orang, tetapi pilihan-pilihan tersebut diatur oleh nilai dan norma. Dengan demikian ia merupakan awal, sekaligus tujuan untuk menjelaskan variasi orientasi subjektif manusia melalui arah-tujuan perilaku mereka yang diatur secara normatif. (Johnsons, 2008: 311-312).
Bahwa tindakan individu adalah voluntaristik, sebagaimana dikutip oleh Scott (2006:118-119) dari Parsons dan Bales (1956), dikarenakan individu mempunyai kemampuan untuk memilih bagaimana mereka akan bertindak. Aneka pilihan yang mereka buat, bagaimanapun, bukanlah tindakan yang sederhana dari kemauan bebas tak terkekang, tetapi dibatasi oleh budaya. Kultur terdiri dari tanda atau lambang yang mengatur tindakan secara kolektif sehingga dapat diorganisasikan. Simbol adalah objek yang diinternalisasi,  dan dapat dipancarkan dengan perubahan dari satu orang ke orang lain.
 Dalam valuntaristic theory of social action,  analisis Parsons sangat kompleks, namun ide dasarnya adalah konsisten dengan akal sehat dan pengalaman keseharian. Argumen Parsons  tentang tindakan sosial menurut Johnsons (2008: 312) memiliki karakteristik :
1).     it is goal directed (or has an end);
2).     it takes place in a situation that provides means individuals can use to achieve their goal, plus conditions the actor cannot change, and;
3).     it is normatively regulated with respect to the choice of both ends and means.

            Dalam pattern variables,  patterns merujuk pada struktur peran-definisi yang mengkonfrontasikan tindakan sebagai sistem pilihan yang dilematis. Pembedaan melalaui pattern variables, dapat dihubungkan dengan konsep   gemeinschaft and gesellschaft yang dijelaskan secara sistematis pertama kali oleh Ferdinand Tonnies.(Turner, 1999:174)  Pattern Variables yang diklaim sebagai universal dan tidak terhindarkan, affectivity v. Affective neutrality; self v. collective orientation; universalism v. particularism; achievement v. ascription; specificity v. diffuseness digambarkan Parsons (2005:71) dalam bukunya The Social Systems  sebagai berikut:







                                                           












 














Gambar 13. Pattern Variables

           

Pattern variables  dapat dilihat dalam konteks skema tindakan umum,  yang variabel-variabelnya diturunkan dalam pola yang saling berkaitan; bukan merupakan susunan daftar yang sederhana, namun variabel-variabel tersebut memiliki keterkaitan sistematis yang penting. Skema yang memiliki dua poros yang menunjukkan dua aspek utama, merupakan polaritas antara orientasi motivasi dan orientasi nilai atau kultural.(Parsons, 2005:67). Dalam orientasi nilai, terdapat pasangan universalism-particularism dan ascription-achievement. Mereka  terkait, sebagaimana dilihat, dengan memperhatikan nilai-norma  yang masuk ke struktur dari sistem sosial, dan dengan jalan melihat karakteristik yang dibangun dari para aktor. Pasangan yang kedua adalah terkait lebih dengan sistem sosial dalam acuan fungsional. Adalah dapat dipahami bahwa kecukupan motivasional dari suatu sistem sosial sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu dalam beberapa hal, oleh karena itu, pasangan yang kedua akan mempunyai keunggulan untuk analisis sistem sosial sebagai tipe struktural. Di sisi lain, untuk analisis masalah kepribadian dalam struktur sosial, pasangan yang pertama akan mempunyai keunggulan (Parsons, 2005: 72). Adapun variabel kelima, yaitu orientasi self-collectivity berada di tengah, karena tidak dalam signifikansi struktural yang utama, namun lebih pada signifikansi menyatukan (integrative).
            Johnson (2008: 313-314) melihat pattern variables sebagai orientasi motivasional yang simultan, ditambah orientasi nilai, yang keduanya masuk dalam tindakan sosial. Konsep tentang motivasi merujuk pada hasrat individu untuk memaksimalkan kepuasan dan meminimalkan kerugian, termasuk tujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam jangka panjang. Orientasi nilai merujuk pada standar normatif, yang membangun pilihan-pilihan individu dengan memperhatikan kebutuhan, prioritas, dan tujuan yang berbeda.
            Menurut Poloma (2007: 168-169), Parsons mengembangkan pattern variables sebagai sarana untuk mengategorikan tindakan atau untuk mengklasifikasikan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial. Lima buah skema dilihat sebagai kerangka teoritis utama dalam analisis sistem sosial yang diturunkan dari dikotomi klasik Tonnies mengenai gemeinschaft dan gesellschaft.  Atau dapat dikatakan, bahwa pattern variables  adalah de-differentiation untuk konsep Tonnies tentang gemeinschaft dan gesellschaft.(Kwang, 2003: 51)
           

The Pattern variables tersebut adalah :
1).   Affective versus affective neutrality. Dalam suatu hubungan sosial, orang bisa bertindak untuk pemuasan afeksi/kebutuhan emosional atau bertindak tanpa unsur afeksi (netral).
2).   Self orientation versus collective-orientation. Dalam hubungan yang berorientasi hanya pada dirinya, orang mengejar kepentingan pribadi, sedang dalam hubungan berorientasi kolektif, kepentingan tersebut sebelumnya telah didominasi oleh kelompok.
3).   Universalism versus particularism. Dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang, sedang dalam hubungan partikularistik digunakan ukuran-ukuran tertentu.
4).   Quality versus performance. Variabel quality menunjuk pada “status askrib” (ascribed status) atau keanggotaan dalam kelompok berdasarkan kelahiran. Performance berarti prestasi (acbievement) atau apa yang dicapai oleh seseorang.
5).   Specificity versus diffusness. Dalam hubungan yang spesifik, orang dengan orang lain berhubungan dalam situasi yang terbatas atau segmented. Seorang penjual dan pelanggan merupakan ilustrasi hubungan sangat terbatas yang didasarkan jual-beli. Di pihak lain, hubungan keluarga adalah contoh dari hubungan diffuse, semua orang (bukan karena status tertentu) terlibat dalam proses interaksi. (Poloma 2007: 168-169)

            Pattern variables dapat dihubungkan dengan tipologi Tönnies yang terkenal dengan  Gemeinschaft and Gesellschaft,  yang digambarkan oleh Johnson (2008:316 ) sebagai berikut:
 

                           Gemeinschaft                            Gesellschaft
                         
                           Affectivity                                   Affective  neutrality
                           Collectivity orientation                Self orientation
                           Particularism                              Universalism
                          Ascription                                    Achievement
                          Diffuseness                                 Specificity

Gambar 14. The Pattern Variable choiches Associated with Tonnies’ Dichotomy

           
            Dalam bukunya tentang Modernisasi dan Perubahan Sosial, Sanggar Kanto (2006: 58) menjabarkan pattern variables dalam dikotomi Tonnies tentang gemeinschaft dan gesellschaft sebagai berikut:

Gemeinschaft
(Masyarakat Tradisional)
Gesellschaft
(Masyarakat Modern)
             

Affective
Collective orientation
Particularism
Ascription
Diffuseness

Affective neutrality
Self Orientation
Universalism
Achievement
Specificity
                       
Gambar 15, Masyarakat Tradisional dan Modern dalam Dikotomi Tonnies dan Pattern Variables


            Selanjutnya dijelaskan, dalam unsur pertama,  affective, yang dominan adalah unsur perasaan dan kasih sayang, sebagaimana diperlihatkan dalam masyarakat pedesaan, yang umumnya masih memiliki empati yang tinggi. Dalam affective neutrality, unsur rasionalitas yang umumnya terdapat pada masyarakat perkotaan adalah dominan dalam relasi sosial antar individu. Unsur kedua, collective orientation, yaitu relasi sosial yang ditandai oleh kerjasama antar individu dalam kelompok. Tujuan individu adalah pencapaian tujuan bersama. Kebalikannya, self orientation, individu melakukan tindakan bila menguntungkan dirinya. Unsur ketiga, particularism, relasi kekerabatan, keluarga, teman adalah hubungan khusus dalam relasi Sosial. Universalism merupakan ciri masyarakat modern, yang ditunjukkan dengan kaidah-kaidah umum dalam relasi sosial yang disesuaikan dengan kualifikasi atau yang dibutuhkan. Unsur keempat, ascription, berorientasi pada keturunan atau takdir. Pada masyarakat tradisional, masih terlihat budaya fatalistik (pasrah pada nasib), sebaliknya pada masyarakat modern terdapat achievement, yang berupaya mencapai keberhasilan, yang kemudian berdampak pada mobilitas vertikal. Unsur terakhir – kelimadiffuseness adalah relasi sosial yang bercampur-baur, sehingga seringkali tidak jelas tujuannya dan sulit ditafsirkan. Diffuseness banyak terlihat di masyarakat tradisional, berbeda dengan specificity yang tanpa basa-basi, langsung ke pokok persoalan sehingga relasi sosial pada masyarakat modern bersifat lebih terbuka, memiliki tujuan spesifik dan jelas.(Sanggar Kanto, 2006: 58-60)
            Berdasarkan  cluster pattern variables sebagaimana ditunjukkan di atas, Parsons menyediakan pisau analasis lebih lanjut tentang relasi sosial  yang ditipologikan secara dikotomis oleh Tonnies dalam gemeinschaft and gesellschaft. Dengan menyediakan sebuah perangkat kategori untuk mengklasifikasi orientasi subjektif, pattern variables merupakan representasi dari kelanjutan analisis awal tentang karakteristik umum dari tindakan sosial voluntaristik. Asumsi pattern variables adalah nilai yang diterapkan bersifat situasional, karenanya terdapat beberapa perbedaan. Analisis Parsons tentang bagaimana orientasi individu, berhubungan dengan dinamika dari sistem sosial untuk memenuhi persyaratan fungsional mereka, terutama masyarakat secara keseluruhan. (Johnson, 2008: 316)
            Melalui penjelasan yang berbeda, Turner (1999: 173-174) juga melihat bahwa institusi budaya dan pattern variables kenyataannya secara langsung berhubungan  dengan analisis awal Parsons tentang tindakan voluntaristik. Hubungan tersebut dapat dilihat melalui dua arah. Pertama, Parsons ingin menunjukkan bahwa pertukaran antara kepribadian dan sistem budaya mempunyai implikasi penting bagi stabilitas sistem sosial. Di sini para aktor sosial menginternalisasi melalui sosialisasi dalam keluarga, kemudian dalam kaitan dengan kepribadian (personality),  mereka menerima kepuasan dalam penyesuaian dengan pola dominan dari nilai yang ada dalam sistem sosial. Ada ketidaktentuan ganda (double contingency) antara aktor dan kultur. Sistem budaya  diperkuat  dengan tindakan  melalui penyesuaian dengan kultur yang dominan. Aktor sosial menerima kepuasan pada kepribadian sebagai konsekuensi dari pengemban tindakan yang harmonis dengan nilai-nilai dominan. Keteraturan sosial adalah karena aktor sosial diganjar untuk dukungan mereka.
            Kedua, Penilaian tentang pattern variables merupakan pertanyaan dari Hobbesian tentang masalah keteraturan. Relasi sosial bekerja tidak dengan cara acak, namun terstruktur dengan pola nilai fundamental dengan tindakan yang memaksa secara moral. Lebih lanjut, dalam uraiannya tentang tindakan universalistic, affectively neutral, collective, specific and achievement-oriented, Parsons memberi penilaian, bahwa tindakan sosial berbeda kuat dengan tindakan yang berorientasi-pasar (kapitalistik). Merupakan sesuatu yang krusial untuk melihat pattern variables sebagai jantung, tidak hanya bila dihubungkan dengan pandangannya tentang perilaku para profesional modern, namun pada sosiologi itu sendiri.
Sesungguhnya, Parsons menuju kesimpulan dari studinya, berargumen dengan sungguh bahwa teori sosiologi adalah aspek dari teori sistem sosial yang terkait dengan fenomena dari pelembagaan pola orientasi-nilai dalam sistem sosial.
            Keragaman bentuk dari diferensiasi sosial yang direpresentasikan dalam pattern variables dibangun dengan arah teoritis dan historis. Secara teoritis, “pattern variables - they were a bridge into the four-function or AGIL”.  
These may be listed as follows, but in no particular order of priority. The adaptive (A) challenge, comprises interaction between society and outer nature, generating resources available for social distribution. The goal-attainment (G) challenge involves the setting of resources to meet human goals. The integration (I) challenge is concerned with the harmonization of the entire social system, including A, I and L elements, through effective norms. The latent pattern-maintenance (L) challenge, which involves interaction with society and the inner metaphysical environment, and is concerned with  the stabilization of the ultimate values held by individuals into patterns of social values.
            (Holton, 2003:155)    






[1] George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 131
[2] Ibid, 132
[3] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 1995), 28.
[4] Ibid, 29.
[5] Ibid, 30.
[6] Ibid, 31.

2 comments:

  1. Did you know there is a 12 word phrase you can communicate to your partner... that will trigger intense emotions of love and instinctual attractiveness for you buried inside his chest?

    That's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, cherish and care for you with all his heart...

    12 Words That Trigger A Man's Desire Response

    This impulse is so built-in to a man's genetics that it will drive him to work better than ever before to love and admire you.

    In fact, fueling this mighty impulse is so mandatory to achieving the best ever relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...

    ...You will immediately find him open his heart and soul to you in a way he's never expressed before and he will perceive you as the only woman in the universe who has ever truly understood him.

    ReplyDelete