Wednesday, July 4, 2018

PENGERTIAN HADISDAIF


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HADIS DHAIF
Hadits Dhoif, menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadi yang tidak kuat.Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
1.Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan.
2.Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih atau yang hasan)
3.Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah  hadits yang salah satu syaratnya hilang.
2.1.1 FAKTOR FAKTOR HADIS DHAIF
Faktor faktornya hadis dhaif bila di tinjau dari sebab-sebabnya kedaifannya, maka dapat di bagi menjadi dua bagian :
1. Dhaif di sebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad.
2. Dhaif karena cacat terdapat cacat pada perawinya
2.1.2 KLASIFIKASI HADIS DHAIF
Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan yang tidak terdapat padanya,yaitu sebagai berikut:
1.Sanadnya tidak bersambung
2.Kurang adilnya perawi
3.Kurang dhobithnya perawi
4.Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5.Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara dzohir terlihat bebas dari cacat.
Dengan demikian, hadits dhoif bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shohih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits hasan.
2.1.3 CONTOH HADIS DHAIF
Hadits-hadits lemah (dhoif) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali, namun mereka tak sadar bahwa hadits-hadits dhoif bukanlah berasal dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kita tidak boleh ber-hujjah dan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
2.1.3.1TUNTUTLAH ILMU SAMPAI KE NEGERI CINA
Hadits dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi SAW. Di antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan oleh para khatib dan da’i dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu di mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke Negeri Tirai Bambu, Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda,[2]
I اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi SAW .
2.1.3.2 TUNTUTLAH DUNIAMU
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً
 “Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan kebanyakan mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tent           ang hadits. Di samping itu, mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).
2.1.3.3 SURAT YASIN HATINYA AL-QUR’AN
Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah perhatikan hadits berikut:)
 منقرأهافكأنماقرأالقرآنعشرمرات إنلكلشيءقلبا, وإنقلبالقرآن (يس
“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali“.
[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (No.169).
2.1.3.4 PERSELISIHAN UMATKU ADALAH RAHMAT
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum muslimin membe        la aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut,[3]
Padahal hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu kecuali rahmat atau kemurkaan“.
2.1.3.5 BARANG SIAPA MENGENAL DIRINYA, DIA AKAN MENGENAL RABB-NYA
Di sini ada sebuah hadits yang palsu dan t     idak ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang sufi untuk menguatkan kesesatan mereka.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya, hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi SAW.
2.1.3.6 KEUTAMAAN MENAMATKAN AL-QUR'AN
Membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi seorang hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah -Ta’ala-. Keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits, tetapi bukan hadits berikut karena haditsnya palsu. Bunyi hadits palsu ini:
إِذَاخَتَمَالْعَبْدُالْقُرْآنَصَلَّىعَلَيْهِعِنْدَخَتْمِهِسِتُّوْنَأَلْفَمَلَكٍ
”Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat ketika ia menamatkannya”.

2.2 PENGERTIAN HADIS MAUDHU’
Secara bahasa, Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Pengertian hadis maudhu’ secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaannya.
1. Al-hiththah berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang terbuang dan terlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai landasan hujjah.
2. Al-isqath berarti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang gugur, tidak boleh diangkat sebagai dasar istidal.
3. Al-islaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang ditempelkan (diklaimkan) kepada Nabi Muhammad agar dianggap berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
4. Al-ikhtilaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
Jadi hadis maudhu’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul. Untuk hadis palsu, ulama biasanya menyebutnya dengan istilah hadis maudhu', hadis munkar, hadis bathil, dan yang semacamnya. Tidak boleh meriwayatkan sesuatu hadis yang kenyataannya palsu bagi mereka yang sudah mengetahui akan kepalsuan hadis itu. Kecuali apabila sesudah ia meriwayatkan hadis itu kemudian dia memberi penjelasan bahwa hadis itu adalah palsu, guna menyelamatkan mereka yang mendengar atau menerima hadis itu dari padanya.Tujuan pembuatan hadis palsu adalah untuk kepentigan dakwah dan zuhud.[4]
2.2.1 FAKTOR-FAKTOR HADIS MAUDHU’
1. Adanya seorang zindiq (seorang yang pura-pura masuk Islam) yang mengaku-aku sebagai seorag muslim kemudian merusak Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memalsukan hadits (membuat perkataan menyerupai hadits) kemudian menyandarkannya kepada shahabat kemudian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Sebagian lainnya dilakukan untuk mendukung madzhab mereka atau kalangan mereka, sebagaimana dilakukan oleh kalangan Khaththobiyah, yaitu kelompok yang dinasabkan kepada Abul Khaththab Al Asadi.
3.Sebagian lagi mereka memalsukan hadits untuk mendapatkan kedudukan di sisi para khalifah dan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Gihyats bin Ibrahim An Nakha’i, dimana ia memalsukan hadits untuk menyenangkan Khalifah Al Mahdi.
4.Sebagian lagi digunakan untuk mencari kekayaan, ketenaran dan lainnya dari kenikmatan dunia.
5. Di antaranya lagi, mereka memalsukan hadits untuk dijadikan dalil dari semua yang mereka fatwakan dari pendapat-pendapat mereka.
6. Sebagian lainnya, dikarenakan niat mereka untuk mengajak kepada amal shalih dan ibadah-ibadah dengan memalsukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
7.Ada pula yang menukilkan perkataan orang-orang bijak, baik itu dari kalangan shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in atau setelah mereka, lantas menyandarkan perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.semisal hadits: “Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala kesalahan.” Dimana ini sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar.
8.Ada pula di antara mereka yang tidaklah berkeinginan untuk memalsukan hadits, hanya saja terjadinya hal tersebut karena kelalaian atau kekeliruan dalam mendengarkan suatu hadits.Semisal hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit bin Musa Az Zahid, dari Syarik dari Al ‘Amasy dari Abu Sufyan dari Jabir, secara marfu’; “Barangsiapa yang memperbanyak shalat di malam hari, wajahnya akan terlihat indah di siang hari.”Hadits ini tidak dijumpai asalnya secara marfu’, dan Tsabit tidaklah bermaksud memalsukan hadits, hanya saja ketika beliau memasuki majlis imla’ Syarik bin Abdullah Al Qardhi, pada saat beliau tengah menyebutkan sanad: diceritakan kepada kami Al A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan belumlah menyebutkan matan hadits, yang bunyinya: “Bahwa syaithan mengikat pada tengkuk salah seorang di antara kalian..”. maka berkata ketika memandang ke wajah Tsabit: Barangsiapa yang memperbanyak shalat di malam hari…, yang mana ucapan ini adalah ditujukan untuk Tsabit, karena zuhud, waro’ dan ibadahnya, bersamaan dengan sanad yang telah ia sebutkan. Maka Tsabit menyangka ucapan yang hanya ditujukan kepadanya itu adalah bagian dari sanad, lantas ia pun meriwayatkan seperti yang ia sangkakan.
2.2.2 KLASIFIKASI HADIS MAUDHU
Hadis Maudhu’ atau hadis yang orang ada- adakan ini, terbagi kepada empat bagian:
1.      Si rawi mengada- adakan sendiri yang tidak sama dengan perbuatan orang lain.
2.      Si rawi mengambil perkataan salaf, hukama dan cerita- cerita Isra-illiyahlalu
3.      Susunan yang diadakan oleh seorang rawi dengan tidak sengaja, tetapi karena waham.
4.      Si rawi mengambil satu hadis yang lemah sanadnya, lalu disusunnya dalam satu sanad yang shahih.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
a. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadis maudhu’ telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah.
b. Shalah Al-Dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. alasan yang dia kemukakan adalah hadis riwayat Al-Thahawi (w. 321H/933 M) dan Al- Thabrani (w. 360H/ 971 M) dalam kedua hadis tersebut dinyatakan bahwa pada masa nabi ada seseorang telah membuat berita bohong mengatas namakan nabi.
c. Menurut jumhur al-muhadditsin bahwa pemalsuan hadis itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali Ibn Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan hadis sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali ibn Thalib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sofyan (w.60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Zaman nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadis
2.2.3 CONTOH HADIS MAUDHU
Maka berikut ini ada beberapa Hadits Maudhu’ bersama keterangannya, serta di mana perlu dan di sebutkan bagian dari sebab-sebabnya atau tanda-tandanya.
1.     اِذَاصَدَقَتِالْمَحَبَّةُسَقَطَتْشُرُوْطُالْأَدَبِ.
Artinya: Apabila rapat percintaan (antara seorang dengan yang lain), maka gugurlah syarat-syarat adab.
Keterangan:
a.       Perkataan ini, orang katakan hadits Nabi saw, padahal sebenarnya adalah itu ucapan seorang yang bernama Junaid.
b.      K            arena ucapan tersebut bukan sabda Nabi saw, maka yang demikian dinamakan maudhu’, yakni Hadits yang dibuat-buat orang.
2.   
Artinya: Sesungguhnya bulan pernah masuk dalam saku baju Nabi saw., dan keluar dari tangan   bajunya.
Keterangan:
a.       Ucapan ini bukan sabda Nabi, tetapi orang katakan hadits Nabi saw. Jadi dinamakan dia maudhu’, palsu.
b.      Tukang-tukang cerita sering membawakan hadits itu waktu menceritakan perjalanan atau maulid Nabi, dengan maksud supaya orang tertarik mendengarkan ceritanya.
c.       Perasaan atau keyakinan kita mesti mendustakan isinya, karena tidak terbayang dalam fikiran, bahwa bulan yang begitu besar dapat masuk dalam saku baju Nabi yang tidak beda dengan saku-saku kita, dan keluar dari lubang tangan baju yang besarnya sudah kita maklum.
3.     الننَّظَرُاِلَيالوَجْهِاْلجمِيْلِعِبَادَةٌ.
Artinya: Melihat wajah yang cantik itu, ‘ibadat.
Keterangan:
a.       Barangsiapa memperhatikan isi ucapan tersebut, tentu akan mengatakan, bahwa maksudnya itu untuk membangunkan syahwat manusia, sehingga orang mau mengerjakan perbuatan yang tidak senonoh, sedang salah satu daripada keutamaan manusia, ialah menjaga syahwatnya.
b.      Sabda Nabi tidak akan bertentangan dengan sifat keutamaan manusia, tetapi Hadits itu nyatanya berlawanan; teranglah bahwa itu bukan Hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu dia disebut hadits maudhu’.
4.       لَوْاَحْسَنَاَحَدُكُمْظَنَّهُبِحَجَرٍلَنَفَعَهُالّل
Artinya: Kalau salah seorang dari pada kamu menyangka baik kepada sebuah batu, niscaya dengan batu ini, Allah akan memberi manfa’at kepadanya.
Keterangan:
a.       Tujuan hadits ini supaya manusia menghormati atau menyembah batu.
b.      Menghormati atau menyembah batu atau yang seumpamanya itu, bertentangan dengan  kepercayaan islam. Islam mengatakan, bahwa tidak ada seorang atau apapun yang dapat memberi manfa’at kepada manusia, selain dari Allah swt.
c.       Tidak syak lagi, bahwa omongan itu adalah buatan kaum musyrikin, penyembah berhala.
Hadits-hadits palsu:
1.      Hadits yang menyuruh orang shalat malam jum’ah 12 raka’at dengan bacaan surah Ihlash 10 kali.
2.      Hadits yang memerintah orang shalat malam jum’ah 2 raka’at dengan bacaan surah Zalzalah 15 kali,(ada juga yang menerangkan 50 kali).
3.      Hadits-hadits shalat pada hari jum’ah 2 raka’at, empat raka’at dan 12 raka’at
4.      Hadits-hadits sebelum shalat jum’ah, ada shalat yang empat raka’at dengan bacaan surat ikhlas 50 kali.
5.      Hadits-hadits shalat ‘Asyura’
6.      Hadits-hadits shalat Ragha-ib .
7.      Hadits-hadits shalat malam dari bulan Rajab.
E.     Sebab munculnya Hadits Maudhu’
a. Adanya seorang zindiq (seorang yang pura-pura masuk Islam) yang mengaku-aku sebagai seorag muslim kemudian merusak Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memalsukan hadits (membuat perkataan menyerupai hadits) kemudian menyandarkannya kepada shahabat kemudian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Sebagian lainnya dilakukan untuk mendukung madzhab mereka atau kalangan mereka, sebagaimana dilakukan oleh kalangan Khaththobiyah, yaitu kelompok yang dinasabkan kepada Abul Khaththab Al Asadi.
c. Sebagian lagi mereka memalsukan hadits untuk mendapatkan kedudukan di sisi para khalifah dan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Gihyats bin Ibrahim An Nakha’i, dimana ia memalsukan hadits untuk menyenangkan Khalifah Al Mahdi.
d. Sebagian lagi digunakan untuk mencari kekayaan, ketenaran dan lainnya dari kenikmatan dunia.
e. Di antaranya lagi, mereka memalsukan hadits untuk dijadikan dalil dari semua yang mereka fatwakan dari pendapat-pendapat mereka.
f. Sebagian lainnya, dikarenakan niat mereka untuk mengajak kepada amal shalih dan ibadah-ibadah dengan memalsukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
g. Ada pula yang menukilkan perkataan orang-orang bijak, baik itu dari kalangan shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in atau setelah mereka, lantas menyandarkan perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
h. semisal hadits: “Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala kesalahan.” Dimana ini sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar.
i. Ada pula di antara mereka yang tidaklah berkeinginan untuk memalsukan hadits, hanya saja terjadinya hal tersebut karena kelalaian atau kekeliruan dalam mendengarkan suatu hadits.








[1] Fauziya Lilis RA, Setyawan Andi Kebenaran Al-Quran dan Hadis, (Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandir, 2014,), 84
[2]. Ismail, M. Syuhudi, 1987. Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: PT Pusaka Kencana 2014), 60.
[3].Ismail, M. Syuhudi, 1987. Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: PT Pusaka Kencana 2014), 67.
[4]. Suparta, Munzier, 2003. Ilmu Hadis, (Jakarta : Raya Grafindo, Persada  2011), 14.

No comments:

Post a Comment