BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HADIS
DHAIF
Hadits
Dhoif, menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadi yang tidak
kuat.Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya
tidak berbeda. Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
1.Hadits
yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat
hadits hasan.
2.Hadits
yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih
atau yang hasan)
3.Pada
definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah hadits yang salah satu syaratnya hilang.
2.1.1 FAKTOR FAKTOR
HADIS DHAIF
Faktor faktornya hadis
dhaif bila di tinjau dari sebab-sebabnya kedaifannya, maka dapat di bagi
menjadi dua bagian :
1. Dhaif di sebabkan
karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad.
2. Dhaif karena cacat
terdapat cacat pada perawinya
2.1.2 KLASIFIKASI
HADIS DHAIF
Adapun
kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih
dan hadits hasan yang tidak terdapat padanya,yaitu sebagai berikut:
1.Sanadnya
tidak bersambung
2.Kurang
adilnya perawi
3.Kurang
dhobithnya perawi
4.Ada
syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5.Ada
illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya
suatu hadits shohih meski secara dzohir terlihat bebas dari cacat.
Dengan
demikian, hadits dhoif bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shohih,
juga tidak memenuhi persyaratan hadits hasan.
2.1.3 CONTOH HADIS
DHAIF
Hadits-hadits
lemah (dhoif) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali, namun
mereka tak sadar bahwa hadits-hadits dhoif bukanlah berasal dari Rasulullah
SAW. Oleh karena itu, kita tidak boleh ber-hujjah dan beramal dengan hadits
dhoif tersebut.
2.1.3.1TUNTUTLAH
ILMU SAMPAI KE NEGERI CINA
Hadits
dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil dan hujjah dalam
menetapkan suatu aqidah dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak
boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi SAW. Di antara hadits-hadits
dhoif (lemah) yang masyhur digunakan oleh para khatib dan da’i dalam mendorong
manusia untuk menuntut ilmu di mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke
Negeri Tirai Bambu, Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda,[2]
I اُطْلُبُوْا العِلْمَ
وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah
ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR.
Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106),
Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol
(241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari
jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah
menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini
adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya
sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata
dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil,
tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai
hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy
dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits
ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut
sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama,
terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang
kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy.
Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan
diyakini sebagai sabda Nabi SAW .
2.1.3.2
TUNTUTLAH DUNIAMU
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً
“Beramallah untuk
duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini
bukanlah sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan kebanyakan mubaligh di zaman
ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau. Sangkaan seperti ini
tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tent ang hadits. Di samping itu, mereka
hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi
keabsahannya.
Hadits
ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di
dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat
Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa
sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini
dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).
2.1.3.3
SURAT YASIN HATINYA AL-QUR’AN
Banyak
hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan
keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di
antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah perhatikan hadits
berikut:)
منقرأهافكأنماقرأالقرآنعشرمرات
إنلكلشيءقلبا, وإنقلبالقرآن (يس
“Sesungguhnya
segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin.
Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an
sebanyak 10 kali“.
[HR.
At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits
ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi
hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman.
Karenanya, Ahli hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy
-rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (No.169).
2.1.3.4
PERSELISIHAN UMATKU ADALAH RAHMAT
Sudah
menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan
memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di negara kita
sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah
terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan
aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum muslimin membe la aliran-aliran tersebut. Mereka
berdalil dengan hadits berikut,[3]
Padahal
hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para
ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak
mampu”.
Dari
segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam
(5/64) berkata, “Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan
ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena
di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu
kecuali rahmat atau kemurkaan“.
2.1.3.5 BARANG SIAPA MENGENAL DIRINYA,
DIA AKAN MENGENAL RABB-NYA
Di
sini ada sebuah hadits yang palsu dan t idak
ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang sufi untuk menguatkan
kesesatan mereka.
Syaikh
Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak
ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak
tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy
berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya,
hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena itu,
seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi
SAW.
2.1.3.6
KEUTAMAAN MENAMATKAN AL-QUR'AN
Membaca
Al-Qur’an apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi seorang hamba, karena
setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah -Ta’ala-. Keutamaan tersebut telah
dijelaskan dalam beberapa hadits, tetapi bukan hadits berikut karena haditsnya
palsu. Bunyi hadits palsu ini:
إِذَاخَتَمَالْعَبْدُالْقُرْآنَصَلَّىعَلَيْهِعِنْدَخَتْمِهِسِتُّوْنَأَلْفَمَلَكٍ
”Jika
seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya
60.000 malaikat ketika ia menamatkannya”.
2.2 PENGERTIAN HADIS
MAUDHU’
Secara
bahasa, Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq
(mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Pengertian
hadis maudhu’ secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan
kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaannya.
1.
Al-hiththah berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang terbuang dan
terlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat
sebagai landasan hujjah.
2.
Al-isqath berarti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang gugur, tidak boleh
diangkat sebagai dasar istidal.
3.
Al-islaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang ditempelkan (diklaimkan)
kepada Nabi Muhammad agar dianggap berasal dari Nabi, padahal bukan berasal
dari Nabi.
4.
Al-ikhtilaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat sebagai
ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padahal bukan berasal
dari Nabi.
Jadi
hadis maudhu’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasul, akan tetapi
suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu
alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul. Untuk hadis palsu, ulama biasanya
menyebutnya dengan istilah hadis maudhu', hadis munkar, hadis bathil, dan yang
semacamnya. Tidak boleh meriwayatkan sesuatu hadis yang kenyataannya palsu bagi
mereka yang sudah mengetahui akan kepalsuan hadis itu. Kecuali apabila sesudah
ia meriwayatkan hadis itu kemudian dia memberi penjelasan bahwa hadis itu
adalah palsu, guna menyelamatkan mereka yang mendengar atau menerima hadis itu
dari padanya.Tujuan pembuatan hadis palsu adalah untuk kepentigan dakwah dan
zuhud.[4]
2.2.1 FAKTOR-FAKTOR
HADIS MAUDHU’
1.
Adanya seorang zindiq (seorang yang pura-pura masuk Islam) yang mengaku-aku
sebagai seorag muslim kemudian merusak Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan memalsukan hadits (membuat perkataan menyerupai hadits) kemudian
menyandarkannya kepada shahabat kemudian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
2.
Sebagian lainnya dilakukan untuk mendukung madzhab mereka atau kalangan mereka,
sebagaimana dilakukan oleh kalangan Khaththobiyah, yaitu kelompok yang
dinasabkan kepada Abul Khaththab Al Asadi.
3.Sebagian
lagi mereka memalsukan hadits untuk mendapatkan kedudukan di sisi para khalifah
dan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Gihyats bin Ibrahim An Nakha’i,
dimana ia memalsukan hadits untuk menyenangkan Khalifah Al Mahdi.
4.Sebagian
lagi digunakan untuk mencari kekayaan, ketenaran dan lainnya dari kenikmatan
dunia.
5.
Di antaranya lagi, mereka memalsukan hadits untuk dijadikan dalil dari semua
yang mereka fatwakan dari pendapat-pendapat mereka.
6.
Sebagian lainnya, dikarenakan niat mereka untuk mengajak kepada amal shalih dan
ibadah-ibadah dengan memalsukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
7.Ada
pula yang menukilkan perkataan orang-orang bijak, baik itu dari kalangan
shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in atau setelah mereka, lantas menyandarkan
perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.semisal hadits:
“Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala kesalahan.” Dimana ini sebenarnya
merupakan perkataan Malik bin Dinar.
8.Ada
pula di antara mereka yang tidaklah berkeinginan untuk memalsukan hadits, hanya
saja terjadinya hal tersebut karena kelalaian atau kekeliruan dalam
mendengarkan suatu hadits.Semisal hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit bin Musa
Az Zahid, dari Syarik dari Al ‘Amasy dari Abu Sufyan dari Jabir, secara marfu’;
“Barangsiapa yang memperbanyak shalat di malam hari, wajahnya akan terlihat
indah di siang hari.”Hadits ini tidak dijumpai asalnya secara marfu’, dan
Tsabit tidaklah bermaksud memalsukan hadits, hanya saja ketika beliau memasuki
majlis imla’ Syarik bin Abdullah Al Qardhi, pada saat beliau tengah menyebutkan
sanad: diceritakan kepada kami Al A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan belumlah menyebutkan matan hadits, yang
bunyinya: “Bahwa syaithan mengikat pada tengkuk salah seorang di antara
kalian..”. maka berkata ketika memandang ke wajah Tsabit: Barangsiapa yang
memperbanyak shalat di malam hari…, yang mana ucapan ini adalah ditujukan untuk
Tsabit, karena zuhud, waro’ dan ibadahnya, bersamaan dengan sanad yang telah ia
sebutkan. Maka Tsabit menyangka ucapan yang hanya ditujukan kepadanya itu
adalah bagian dari sanad, lantas ia pun meriwayatkan seperti yang ia sangkakan.
2.2.2 KLASIFIKASI
HADIS MAUDHU
Hadis
Maudhu’ atau hadis yang orang ada- adakan ini, terbagi kepada empat bagian:
1. Si rawi mengada- adakan sendiri yang
tidak sama dengan perbuatan orang lain.
2. Si rawi mengambil perkataan salaf, hukama
dan cerita- cerita Isra-illiyahlalu
3. Susunan yang diadakan oleh seorang rawi
dengan tidak sengaja, tetapi karena waham.
4. Si rawi mengambil satu hadis yang lemah
sanadnya, lalu disusunnya dalam satu sanad yang shahih.
Para
ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut
ini akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
a.
Menurut Ahmad Amin, bahwa hadis maudhu’ telah terjadi pada masa Rasulullah SAW.
masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah.
b.
Shalah Al-Dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah
keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. alasan yang dia kemukakan
adalah hadis riwayat Al-Thahawi (w. 321H/933 M) dan Al- Thabrani (w. 360H/ 971
M) dalam kedua hadis tersebut dinyatakan bahwa pada masa nabi ada seseorang
telah membuat berita bohong mengatas namakan nabi.
c.
Menurut jumhur al-muhadditsin bahwa pemalsuan hadis itu terjadi pada masa
kekhalifahan Ali Ibn Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan hadis sejak zaman
Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali ibn Thalib dengan
Mu’awiyah ibn Abi Sofyan (w.60 H/680 M) masih terhindar dari
pemalsuan-pemalsuan. Zaman nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadis
2.2.3 CONTOH HADIS
MAUDHU
Maka
berikut ini ada beberapa Hadits Maudhu’ bersama keterangannya, serta di mana
perlu dan di sebutkan bagian dari sebab-sebabnya atau tanda-tandanya.
1. اِذَاصَدَقَتِالْمَحَبَّةُسَقَطَتْشُرُوْطُالْأَدَبِ.
Artinya:
Apabila rapat percintaan (antara seorang dengan yang lain), maka gugurlah
syarat-syarat adab.
Keterangan:
a. Perkataan ini, orang katakan hadits Nabi
saw, padahal sebenarnya adalah itu ucapan seorang yang bernama Junaid.
b. K arena
ucapan tersebut bukan sabda Nabi saw, maka yang demikian dinamakan maudhu’,
yakni Hadits yang dibuat-buat orang.
2.
Artinya:
Sesungguhnya bulan pernah masuk dalam saku baju Nabi saw., dan keluar dari
tangan bajunya.
Keterangan:
a. Ucapan ini bukan sabda Nabi, tetapi orang
katakan hadits Nabi saw. Jadi dinamakan dia maudhu’, palsu.
b. Tukang-tukang cerita sering membawakan
hadits itu waktu menceritakan perjalanan atau maulid Nabi, dengan maksud supaya
orang tertarik mendengarkan ceritanya.
c. Perasaan atau keyakinan kita mesti
mendustakan isinya, karena tidak terbayang dalam fikiran, bahwa bulan yang
begitu besar dapat masuk dalam saku baju Nabi yang tidak beda dengan saku-saku
kita, dan keluar dari lubang tangan baju yang besarnya sudah kita maklum.
3. الننَّظَرُاِلَيالوَجْهِاْلجمِيْلِعِبَادَةٌ.
Artinya:
Melihat wajah yang cantik itu, ‘ibadat.
Keterangan:
a. Barangsiapa memperhatikan isi ucapan
tersebut, tentu akan mengatakan, bahwa maksudnya itu untuk membangunkan syahwat
manusia, sehingga orang mau mengerjakan perbuatan yang tidak senonoh, sedang
salah satu daripada keutamaan manusia, ialah menjaga syahwatnya.
b. Sabda Nabi tidak akan bertentangan dengan
sifat keutamaan manusia, tetapi Hadits itu nyatanya berlawanan; teranglah bahwa
itu bukan Hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu dia disebut hadits maudhu’.
4. لَوْاَحْسَنَاَحَدُكُمْظَنَّهُبِحَجَرٍلَنَفَعَهُالّل
Artinya:
Kalau salah seorang dari pada kamu menyangka baik kepada sebuah batu, niscaya
dengan batu ini, Allah akan memberi manfa’at kepadanya.
Keterangan:
a. Tujuan hadits ini supaya manusia
menghormati atau menyembah batu.
b. Menghormati atau menyembah batu atau yang
seumpamanya itu, bertentangan dengan
kepercayaan islam. Islam mengatakan, bahwa tidak ada seorang atau apapun
yang dapat memberi manfa’at kepada manusia, selain dari Allah swt.
c. Tidak syak lagi, bahwa omongan itu
adalah buatan kaum musyrikin, penyembah berhala.
Hadits-hadits
palsu:
1. Hadits yang menyuruh orang shalat malam
jum’ah 12 raka’at dengan bacaan surah Ihlash 10 kali.
2. Hadits yang memerintah orang shalat malam
jum’ah 2 raka’at dengan bacaan surah Zalzalah 15 kali,(ada juga yang
menerangkan 50 kali).
3. Hadits-hadits shalat pada hari jum’ah 2
raka’at, empat raka’at dan 12 raka’at
4. Hadits-hadits sebelum shalat jum’ah, ada
shalat yang empat raka’at dengan bacaan surat ikhlas 50 kali.
5. Hadits-hadits shalat ‘Asyura’
6. Hadits-hadits shalat Ragha-ib .
7. Hadits-hadits shalat malam dari bulan
Rajab.
E. Sebab munculnya Hadits Maudhu’
a.
Adanya seorang zindiq (seorang yang pura-pura masuk Islam) yang mengaku-aku
sebagai seorag muslim kemudian merusak Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan memalsukan hadits (membuat perkataan menyerupai hadits) kemudian menyandarkannya
kepada shahabat kemudian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b.
Sebagian lainnya dilakukan untuk mendukung madzhab mereka atau kalangan mereka,
sebagaimana dilakukan oleh kalangan Khaththobiyah, yaitu kelompok yang
dinasabkan kepada Abul Khaththab Al Asadi.
c.
Sebagian lagi mereka memalsukan hadits untuk mendapatkan kedudukan di sisi para
khalifah dan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Gihyats bin Ibrahim An
Nakha’i, dimana ia memalsukan hadits untuk menyenangkan Khalifah Al Mahdi.
d.
Sebagian lagi digunakan untuk mencari kekayaan, ketenaran dan lainnya dari
kenikmatan dunia.
e.
Di antaranya lagi, mereka memalsukan hadits untuk dijadikan dalil dari semua
yang mereka fatwakan dari pendapat-pendapat mereka.
f.
Sebagian lainnya, dikarenakan niat mereka untuk mengajak kepada amal shalih dan
ibadah-ibadah dengan memalsukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
g.
Ada pula yang menukilkan perkataan orang-orang bijak, baik itu dari kalangan
shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in atau setelah mereka, lantas menyandarkan
perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
h.
semisal hadits: “Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala kesalahan.” Dimana
ini sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar.
i.
Ada pula di antara mereka yang tidaklah berkeinginan untuk memalsukan hadits,
hanya saja terjadinya hal tersebut karena kelalaian atau kekeliruan dalam
mendengarkan suatu hadits.
[1] Fauziya Lilis
RA, Setyawan Andi Kebenaran Al-Quran dan Hadis, (Solo : PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandir, 2014,), 84
[2]. Ismail, M.
Syuhudi, 1987. Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: PT Pusaka Kencana 2014),
60.
[3].Ismail, M.
Syuhudi, 1987. Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: PT Pusaka Kencana 2014),
67.
[4]. Suparta,
Munzier, 2003. Ilmu Hadis, (Jakarta : Raya Grafindo, Persada 2011), 14.
No comments:
Post a Comment