Wednesday, July 4, 2018

PENYUSUNAN KALIMAT EFEKTIF


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENYUSUNAN KALIMAT EFEKTIF
Kalimat efektif adalah kalimat yang disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku, seperti unsur-unsur penting yang harus dimiliki setiap kalimat (subjek dan predikat); memperhatikan ejaan yang disempurnakan;serta cara memilih kata (diksi) yang tepat dalam kalimat. kalimat yang memenuhi kaidah-kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar.
Menurut JS badudu kalimat efektif adalah kalimat yang baik karena apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh si pembaca (si penulis dalam bahasa tulis) dapat diterima dan dipahami oleh pendengar (pembaca dalam bahasa tulis) sama benar dengan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh si penutur atau si penulis.[1]
1.   KESEPADANAN BENTUK
Ciri kalimat efektif yang pertama adalah adanya kesepadanan struktur. Adapun yang dimaksud dengan kesepadanan struktur adalah keseimbangan antara gagasan atau pikiran dan struktur Bahasa yang digunakan. Kesepadanan pikiran ditunjukkan oleh keutuhan dan kepadua ide atau gagasan pada kalimat itu.[1] Adaupun kesepadanan struktur ditunjukkan oleh kejelasan kehadira subjek yang ganda, tidak adanya kojungsi intrakalimat yang digunakan dalam kalimat tunggal, dan tidak adanya kata ‘yang’ di depan predikat. Kalimat-kalimat yang ditunjukkan berikut ini semuanya tidak benar karena menyalahi ketetuan kesepadanan pikiran dan kesepadanan struktur yang di sampaikan di depan itu.
a. Bentuk salah :
- Kepada para peserta diskusi di persilakan masuk.
- Sebab gubernur tidak menyetujui usulan.
- Mereka yang menuntut keadilan.
- Saya saling memaafkan.
b. Bentuk disunting
-  Para peserta diskusi dipersilakan masuk.
- Gubernur tidak menyetujui usulan.
- Mereka menuntut keadilan.
- Mereka saling memaafkan.

c. Penjelasan

Kalimat pertama yang berbunyi, ‘kepada para peserta diskusi di persilaka masuk.’ Tidak dapat dianggap sebagai kalimat yang benar karena subjek kalimat itu tidak jelas alias kabur. Kekaburan atau ketidakjelasan kalimat itu disebabkan oleh kehadiran preposisi atau kata depan di depan subjek kalimat.
Kalimat yang kedua, ‘sebab gubernur tidak meyetujui usulan.’ Jelas sekali merupakan kalimat yang tidak benar karena kehadiran konjungsi intrakalimat. ‘sebab’ di posisi awal kalimat sederhana atau kalimat tunggal. Dengan kehadiran konjungsi intrakalimat pada posisi awal kalimat sederhana demikian itu akan mengubah status kalimat menjadi klausa. Jadi, bentuk seperti di sebutkan di depan itu bukanlah kalimat, melainkan hanya klausa.
Pada kalimat yang ketiga, ‘mereka menuntut keadilan’ juga terdapat kesalahan mendasar yang menjadikan kalimat sama sekali tidak efektif. Kesalahan itu adalah pada hadirnya kata ‘yang’ di depan predikat kalimat. Denga kehadiran kata ‘yang’ di depan predikat kalimat itu, maka berubahlah status kalimat sederhana itu menjadi frasa. Karena hanya berstatus frasa atau kelompok kata, bentuk demikian itu sama sekali bukanlah kalimat. Jangankan kalimat, klausa saja bukan. Jadi, konstruksi demikian ini benar benar tidak memenuhi tuntutan efektivitas kalimat dalam bahasa indonesia. Maka, untuk membenahinya, hilangkan saja ‘yang’ kalimat itu. Alternatif lain adalah dengan melegkapi konstruksi frasa itu sehingga menjadi kalimat yang lengkap, seperti ‘mereka menuntut keadilan sekarang ini dipenjara semua.’ Nah, kelihatan jelas sekarang, bahwa bentuk ‘mereka yang menuntut keadilan’ adalah subjek dari kalimat itu. Subjek kalimat di atas itu berupa frasa atau kelompok.
kata. Adaupun untuk bentuk kebahasaan yang terakhir ‘saya saling memaafkan’ sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kalimat yang benar dan efektif. Dari dimensi strukturnya sekilas memang tidak ada persolan, tetapi dari segi maknanya jelas sekali terdapat persolan yang sangat serius. Bukankah tidak mungkin tindakan yang bersifat resiprokal atau berbalasan itu dilakukan hanya seorang diri? Dengan demikian bentuk kebahasaan seperti yang di sebutkan di depan adalah tuturan yang tidak sepadan, yakni tidak sepadan dalam dimensi ide atau gagasanya.
2. KEPARARELAN BENTUK
Ciri kalimat efektif yang kedua adalah kepararelan bentuk. Adaupun yang dimaksud dengan kepararelan bentuk adalah kesamaan atau kepararelan bentuk kata atau frasa yang digunakan dalam sebuah kalimat.artinya, jika dalam konstruksi yang beruntun pada kalimat, bentuk yang pertama menggunakan nomina, bentuk kedua dan seterusnya juga pasti menggunakan nomina[2]. Demikian juga kalau bentuk yang pertama menggunakan ajektif, bentuk yang kedua, ketiga, dan yang seterusnya juga harus menggunakan ajektif. Jadi misalnya saja jika ada bentuk. “Ibu ke pasar membeli minum, sayuran, dan makanan.’ Pasti dengan mudah kita akan segera mengatakan bahwa bentuk yang demikian itu sama sekali tidak memenuhi tuntutan kepararelan. Tentu saja, bentuk dia atas itu harus diubah menjadi, ‘Ibu ke pasar membeli muniman, sayuran, dan makana.’ Mari kita lihat kasus-kasus kebahasaan yang berkaitan dengan kepararelan tersebut pada kalimat berikut ini.

a. Bentuk salah :
-       Harga BBM minggu ini segera dibakukan dan kenaikan secara lues.
-       Penulis skripsi harus melakukan pertemuan dengan penasehat akademis, mengajukan topik, dan pembimbingan.
b. Bentuk disunting :
-    Harga BBM minggu ini segera dibakukan dan dinaikkan secara lues.
-    Penulis skripsi harus melakukan pertemuan dengan penasehat akademis, mengajukan topik, dan menjalani pembimbingan.
c. Penjelasan
Kalimat yang pertama tidak efektif karena di dalamnya terdapat bentuk ‘dibakukan dan kenaikan’ yang jelas sekali tidak parallel. Bentuk ‘dibakukan merupakan verba pasif, sedangkan ‘kenaikan’ merupakan nomina. Dalam konstruksi yang berpasangan, demikian juga dalam konstruksi yang beruntun, bentuk kebahasaan yang demikian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Di dalam kalimat yang kedua, bentuk kebahasanaan yang dianggap tidak pararel itu adalah bentuk ‘. Melakukan pertemuan dengan penasihat akademis, mengajukan topik, dan pembimbingan’. Bentuk yang demikian itu dianggap tidak pararel karena susunan konstruksinya adalah verba-verba nomina. Seharusnya, konstruksi yang digunakan adalah ‘verba-verba-nomina’. Nah, kesalahan-kesalahan yang sepertinya trivial, kecil, dan serasa kurang signifikan demikian ini banyak terjadi di dalam tulis menulis dan karang mengarang.
Para penulis dan peneliti harus benar benar mencermati prinsip paralelisme dalam berbahasa demikian ini ketika mengonstruksi sebuah kalimat. Demikian pula para penyunting bahasa, harus benar benar cermat dan tidak perlu ragu ragu untuk mengubah dan membenahinya ketika berhadapan dengan bentuk bentuk kebahasaan yang tidak pararel demikian ini. Sekilas memang sepertinya tidak dapat persoalan pada kalimat-kalimat yang tidak pararel demikian itu. Akan tetapi, jika prinsip prinsip efektivitas dalam kalimat itu diterapkan, akan segera diketahui terdapat persoalan yang besar.

3. KETEGASAN MAKNA
Ciri kalimat efektif dalam bahasa Indonesia adalah adanya ketegasan makna. Adaupun yang di maskud dengan ciri ketegasan makna itu adalah bahwa perlakuan penonjolan pada gagasan pokok kalimat tersebut. Dengan perkataan lain, gagasan yang hendak ditonjolkan itu harus di letakkan pada posisi depan pada sebuah kalimat. Dengan pengedepanan gagasan atau ide yang hendak di tonjolkan itu, ketegasan makna dapat diperoleh dalam kalimat itu.
 Informasi yang harus di ketahui dan diperoleh terlebih dahulu oleh para pembaca, akan mudah di ketemukan secara langsung oleh para pembaca, yakni dengan mengidentifikasikan bentuk kebahasaanya yang di tonjolkan itu. Ambil saja contoh, ‘Tujuan saya melakukan penelitian ini adalah …’. Dari bentuk kebasahaan itu jelas jelas kelihatan bahwa bentuk yang tonjolkan adalah ‘tujuan saya’, bukan yang lain-lainnya. Maka dengan mudah pula, pembaca akan dapat menangkap maskud penonjolan bentuk kebahasaan itu, yakni sebagai informasi baru yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Nah, dari berbagai sumber yang dapat dijangkau oleh penulis juga dari pengalaman dan pencermatan yag dilakukanya selama ini, penegasan makna atau maksud dari kebahasaan itu dapat dilakukan degan sejumlah cara. Setidaknya terdapat 5 cara yang dapat dilakukan untuk maksud ini yakni :
1.meletakan bagian yang hendak di tonjolkan itu ke bagian depan kalimat
2. membuat urutan kata-kata yang bertahap.
3. membuat pegulangan secara proporsioal.
4. membuat pertetangan atas ide atau pikiran yang di tonjolkan.
5. menggunakan beberapa partikel penegas/penekan.
            Berikut ini adalah beberapa contoh kalimat yang telah memenuhi standar penegasan makna itu.
-          Saya suka kecantikannya, saya suka kelembutannya, saya suka senyumnya.
-          Dialah pelaku pembunuhan 7 gadis di Surabaya tahun lalu.
-          Jangankan 1 juta, 500 ribu, 200 ribu, 100 ribu saja dia tidak punya.

Kalimat yang pertama menegaska maksud dengan mengulang bentuk ‘saya suka’. Jadi, pasti kalimat ini memberikan penekanan pada entitas kebahasaan itu, bukan pada entitas kebahasaan yang lainya.
Kalimat yang kedua membuat penegasan dengan cara memerantingkan partikel penegas ‘lah’. Harap di catat pula bahwa penegasan makna dengan dengan pemerantian partikel dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan ‘lah’ dan dengan ‘pun’. Partikel ‘kah’ dan partikel yang sudah cenderung kuno, ‘tah’ sepertinya tidak banyak berlaku sebagai peranti pemertegas pada pemakaian bahasa indonesia kontemporer sekarang ini.
Kalimat yang ketiga, penegasan itu dilakukan dengan model penahapan, tetapi penahapannya bersifat menurun. Nah, para penulis, peneliti dan penyunting bahasa harus benra benar memperhatikan ini. Sebuah kalimat dibuat efektif, diantaranya dengan cara memvariasikan dimensi-dimensi penonjolannya. Hal demikian agaknya sejalan pula dengan kelaziman yang ada di dalam masyarakat kita bahwa yang penting memang berapa pada posisi yang di tonjolkan, yang dipentingka hampir selalu berada di bagian depan.

4. KEHEMATAN KATA
Ciri kalimat efektif yang keempat adalah ‘kehematan kata’. Akan tetapi, juga harus diingat di sini bahwa tidak selalu yang hemat kata-kata, yang pendek bentuknya, pasti bersifat efektif. Jadi, prinsip ketercukupan dalam pemakaian bentuk betuk kebahasaan saya rasa sangat penting di tekankan di sini. Artinya, kalau memang tuturan itu harus dibuat pendek, kenapa harus dibuat berpanjang-panjang. Sebaliknya, jika memang dengan tuturan yang dipotong, ternyata tidak didapatkan bentuk kebahasaan yang efektif digunakan untuk menyampaikan pesan, tentu saja bentuk kebahasaan yang sedikit lebih panjang tetap diperbolehkan. Nah, dalam kaitan dengan rumusan kalimat yang berciri hemat dan efektif demikian ini, lazimnya didapatkan pula bahwa di dalam kalimat itu haru ada :
1. Penghilangan pengulangan subjek
2. penghilangan superordiate
3. Penghindaran kesinoniman.

Bentuk kebahasaan seperti ‘Anak-anak itu saya sudah memperingatkan,’, sekalipun bagi orang-orang tertentu yang sungguh paham dengan kaidah-kaidah kebahasaa, tidak akan pernah membuat atau menyusunnya, tetapi ternyata dalam kebanyakan karangan atau tulisan masih ditemukan juga bentuk kebahasaan yang memiliki ciri kegandaan dalam hal subjek kalimat yang demikian ini. Bentuk ‘anak-anak itu’ dan ‘saya’ pada kalimat itu, jelas sekali menduduki posisi subjek kalimat. Kegandaan dalam hal subjek kalimat yang demikian ini, selain tidak efektif, juga sangat tidak gramatikal di dalam Bahasa indonesi. Maka, bentuk kebahasaan yang demikian ini harus dihilangkan karena memang tidak berterima.
Selanjutnya, bentuk superordinat itu lazimnya muncul kalau bentuk kebahasaan yang dianggap sebagai supeordinat itu memiliki sejumlah perincian. Bentuk ‘bunga’ dikatakan saja, memiliki subordinat ‘mawar’, ‘melati’, ‘kenanga’, dan seterusnya. Adaupun bentuk subordinat untuk ‘warna’ adalah ‘biru’, ‘merah’, ‘hijau’, dan seterusnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk ‘warna merah’, atau ‘warna putih’, adalah bentuk kebahasan yang salah.
Demikian pula bentuk ‘bunga mawar’ atau ‘bunga kenanga’ atau ‘bunga melati’ adalah bentuk-bentuk kebahasaan yang sangat tidak efektif karena didalam bentuk-bentuk kebahasaan itu serta merta terdapat supeordinatdan subordinat sekaligus. Selanjutnya, bentuk-bentuk yang bermakna sama atau bersinonim harus dihindarkan  untuk menjamin kehematan sebuah kalimat. Bentuk ‘sekarang’ dan ‘sedang’ secara sistematis menunjuk pada hal yang sama. Demikian pula dengan Bentuk ‘kini’ dan ‘sedang’ atau ‘sekarang’ dan ‘tengah’. Dalam konteks kehematan kata-kata ini pula, dapat katakana bahwa bentuk kebahasaan yang demikian ini sama sekali tidak hemat karena di dalamnya terkandung bentuk-bentuk yang sifatnya lewah atau mubazir. Nah, para penulis, peneliti, dan penyunting Bahasa harus benar-benar cermat denganbentuk-bentuk kebahasaan yang demikian ini. Hampir dipastikan, bahwa di dalam setiap kerja penyuntingan dan tulis-menulis atau karang mengaran, kesalahan kebahasaan yang demikian ini selalu terjadi. Mohon diperhatikan lebih lanut bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak benar seperti yang disampaikan berikut ini.
a. Bentuk Salah :
- Saat ini, Sally memakai baju berwarna merah jingga
- Banyak anak-anak berkeliaran di jalan menuju lokasi kejadian.
- Buku itu saya mudah membaca
- Dia sedang mengambilli buku di mejanya.
- Sekarang ini ia sedang membersihkan mobilnya di halaman belakang.
b. Bentuk disunting
- saat ini, Sally memakai baju merah jingga
- Banya anak berkeliaran di jalan menuju lokasi kejadian.
- Saya sudah membaca buku itu.
- Dia sedang mengambil buku di mejanya.
- Sekarang ini ia membersihkan mobilnya di halaman belakang.




5. KECERMATAN DAN KESANTUNAN
Yang dimaksud cermat adalah bahwa kalimat itu tidak menimbulkan tafsiran ganda dan tepat dalam pilhan kata.[3] Persoalan kecermatan di dalam pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan adalah persoalan yang sangat tidak mudah untuk diselesaikan. Banyak kesalahan kebahasaan yang dilakukan oleh para penulis, peneliti, dan penyunting Bahasa, yang kadang kala sumber pokoknya adalah pada masalah ketidaktelitian dalam memerantingkan bentuk-bentuk kebahasaan yang demikian itu. Adaupun yang dimaksud dengan kecermatan Bahasa itu pada intinya adalah kehati-hatian dalam menyusun kalimat dan bentuk-bentuk kebahasaan yang lain sehingga hasilnya tidak akan menimbulkan tafsir ganda.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang memiliki tafsir ganda itu biasanya adalah bentuk-bentuk kebahasaan yang memilki makna ambigu, atau makna yang lebih dari satu. Nah, dalam ilmu Bahasa pragmatikatau sosiopragmatik, kegandaan pemaknaan bentuk-bentuk kebahasaan demikian itu terjadi karena orang melepaskan konteks. Bilamana orang melibatkan konteks kebahasaan dengan benar-benar cermat, dan juga konteks-konteks nonkebahasaanny, mustahil tafsir yang ganda itu akan terjadi. Jadi, selalu libatkanlah konteks-konteks kebahasaan di dalam menafsirkan sebuah bentuk kebahasaan hal lain yang juga sangat berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah entitas kebahasaan adalah masalah pikiran kata atau diksi Bahasa.
Kecermatan dan ketepatan pengungkapan maksud atau makna kebahasaan tidak dapat dilepaskan dari keakuratan seseorang dalam memerantingkan diksi. Maka, segala sesuatu yang telah disampaikan pada bab terdahulu, terutama yang berkaitan dengan persoalan diksi atau pilihan kata, silakan dipelajari dan dicermati dengan lebih baik. Saya hendak menegaskan bahwa baik atau buruknya Bahasa seseorang, santun atau tidaknya bentuk kebahasaan yang digunakan seseorang, akan sangat ditentukan oleh pilihan kata yang digunakan oleh seorang yang bersangkutan. Bahasa yang cerma pertibambangan dimensi-dimensi konteksny, biasanya juga adalah Bahasa yang cenderung bersifat santun. Dengan Bahasa yang benar-benar cermat dan santun demikian itu, hubungan yang harmonis dan relasi yang cenderung bersifat positif akan dapat terjadi dengan baik. Dalam ilmu Bahasa pragmatik dan sosiopragmatik juga dikenal prinsip penyelamatan muka atau face-saving. Kalimat-kalimat yang cermat dan santun dapat dipastikanakan mampumenjaga muka seseorang. Akan tetapi, kalimat-kalimat yang ceroboh, yang tidak cermat, yang tidak santun, dipastikan akan mencoreng muka seseorang. Setidaknya, semua itu akan dapat mencoreng muka si penulisnya sendiri. Nah, berkenaan dengan hal-hal ini, mohon kalimat-kalimat berikutini dipelajari dan dipertimbangkan dengan baik. Carilah dan temukanlah bentuk-bentuk kebahasaan lain yang juga memiliki ciri kecermatan dan kesantunan yang rendah demikian itu, kemudian benahilah supaya menjadi bentuk-bentuk kebahasan yang lebih baik.
a. Bentuk Salah :
- Yang diceritakan buku itu menceritakan para putri raja.
- Banjir di Jakarta membanjiri wilayah perbelanjaan.
- Wajahmu norak persis seperti hantu kesiangan.
- Mobil barumu bagus tapi persis gerobak.
b. Bentuk disunting
- Buku itu menceritakan para putri raja.
- Banjir di Jakarta meluapi wilayah perbelanjaan.
- Wajahmu kurang menarik.
- Mobil barumu bagus.

6. KEPADUAN MAKNA
Kalimat efektif dalam Bahasa Indonesia juga harus memiliki ciri kepaduan makna. Adaupun yang dimaksud dengan ‘padu’ adalah ‘bersatu’. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa bentuk kebahasaan yang ‘padu’ adalah bentuk kebahasaan yang ‘tidak terpecah-pecah’,[4] atau bentuk kebahasaan yang ‘bersatu’. Kebarsatuan atau kepaduan bentuk bentuk kebahasaan demikian itu jelas sekali akan sangat berengaruh terhadap makna atau maksud sebuah bentuk kebahasaan. Bentuk kebahasaan yang padu, juga dipastikan akan dapat menjadikan makna kebahasaan tersebut padu. Dengan, demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat efektif itu salah satunya harus memenuhi kepaduan bentuk dan kepaduan makna. Sebuah kalimat akan dikatakan padu, pertama-tama bila susunannyatidak ‘bertele-tele’. Kalimat yang bertele-tele biasanya sama sekali tidak dapat diguakan untuk menyampaikan gagasan atau ide yang tepat, padat, pendek, dan akurat.
Dalam tulis menulis atau karang-mengarang terdapat sebuah prinsip yang harus diikuti oleh setiap orang, yakni bahwa bila Anda dapat menggunakan bentuk kebahasaan yang pendek untuk menyampaikan sebuah maksud kebahasaan, kenapa harus digunakan untuk kebahasaan yang relative berpanjang-panjang. Jadi, bentuk kebahasaan yang cenderung ‘berpanjang-panjang’ demikian inilah yang dimaksud dengan bentuk kebahasaan yang bertele-tele, kalau dengan kata ‘rapat’ saja cukup jelas, kenapa harus dibuat bentuk ‘menyelenggrakan rapat’ atau ‘mengadakan rapat’. Demikian pula kalau bentuk ‘menembak’ saja cukup, kenapa harus diungkapkan dengan bentuk ‘menembak peluru’. Juga kalau dengan bentuk ‘memberitakan’ sudah lengkap gagasan yang hendak disampaikan itu, kenapa pula harus menggunakan bentuk ‘menyampaikan berita’. Jadi, para penulis, peneliti, dan penyunting Bahasa harus benar-benar memiliki sikap yang sungguh tegas dengan bentuk-bentuk kebahasaan yang berpanjang panjang atau bertele-tele demikian ini. Selanjutnya, kesalahan kebahasaan lain yang juga berkenaan dengan masalah kepaduan bentuk dan makna kebahasaan ini adalah konstruksi yang ditengah-tengahnya disela oleh kata ‘daripada ‘ atau kata ‘tentang’ antara kata kerja dan objek penderita. Nah, para penulis, peneliti, dan penyunting Bahasa, harus benar-benar memperhatikan persoalan kebahasaan yang berkaitan dengan hal ini.
Model-model kesalahan Bahasa seperti ditunjukkan berikut ini silakan dikembangkan terus, supaya ditemukan kesalahan-kesalahan kebahasaan lain dalam jumlah yang lebih banyak. Dengan ditemukan model-model kesalahan kebahasaan yang variatif dan jumlahnya banyak itu, pekerjaan Anda selanjutnya akan sangat dimudahkan.
a.Bentuk Salah :
- Kita harus memperhatikan daripada kehendak rakyat.
- Rapat pimpinan hari ini membicarakan tetang kenaikan upah karyawan.
b. Bentuk disunting :
- Kita harus memperhatikan kehendak rakyat.
- Rapat pimpinan hari ini membicarakan kenaikan upah karyawan.

7. KELOGISAN MAKNA
Ciri efektivitas kalimat efektif dalam Bahasa indoneisa juga dapat dilihat dari dimensi kelogisan maknanya. Kelogisan makna sangat berkaitan dengan ‘nalar’, maka sesungguhnya dapat dikatakan pula bahwa kalimat yang logis itu sesungguhnya adalah kalimat  yang ide atau gagasannya sejalan dengan akal nalar yang benar dan berlaku universal. Nah, orang mungkin sering tidak mencermati bahwa bentuk ‘mempersingkat waktu’ adalah bentuk kebahasaan yang tidak logis, Bentuk yang demikian itu bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan logika umum, sekalipun secara sekilas tidak ada persoalan dengan bentuk kebahasan yang demikian itu. Pertanyaannya, dapatkah ‘waktu’ dipersingkat? Tau, dapatkah ‘waktu diperpanjang’? tentu saja tidak! Entitas waktu hanya dapat dihemat sehingga waktu yang lama panjangnya 24 jam itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baikny, maka, bentuk ‘mempersingkat waktu’ adalah bentuk yang salah nalar. Contoh bentuk kebahasaan lain yang juga dikatakan sebagai bentuk yang salah nalar atau bertentangan dengan logika umum adalah bentuk  “mayat bergentayangan’, tidaklah sejalan dengan akan sehat jika ada perkataan ‘mayat bergentayangan’ karena yang benar adalah arwah bergentayangan, anehnya, sekalipun bentuk kebahasaan yang disampaikan di depan itu tidak benar, tetapi dalam pemakaian Bahasa yang sesungguhnya sering muncul bentuk kebahasaan yang demikian itu.
Tentu saja masih banyak bentuk kebahasaan yang lain seolah-olah benar, dapat digunakan, dan, tidak ada persoalan di dalamnya. Tetapi sesungguhnya bentuk kebahasaan itu tidak benar karena memang salah nalar. Maka, para penulis, peneliti, penyunting Bahasa harus benar-benar cermat dan teliti bilamana bertemu dengan bentuk kebahasaan yang demikian ini.
a.Bentuk salah :
- Untuk mempersingkat waktu, kita teruskan acara ini dengan…
 - kepada Bapak Direktur, waktu dan tempat dipersilakan.
- Mayat mahasiswi yang meninggal itu sering bergentayangan di kampus ini.
- Di sini di jual sup buntut, sup brenebon, dan kaki sapi.
b.Bentuk di sunting :
- Untuk menghemat waktu, kita teruskan acara ini dengan…
- Bapak Direktur, waktu dan tempat dipersilakan.
- Arwah mahasiswi yang meninggal itu sering bergentayangan di kampus ini.
- Di sini di jual sup buntut, sup brenebon dan sup kaki sapi.


[1] Dr.R. Kunjana Rahardi, Penyuntingan Bahasa Indonesia untuk karanng mengarang, Yogyakarta, 2010. PT Gelora Aksara hal, 129.

[2] Prof. Dr. E Zaenal Arifin, M.Hum dan Drs. S Tasai Amran, M.Hum. Cermat Berbahasa Indonesia, Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2010

[3] Ibid., 103.
[4] Ibid., 103

No comments:

Post a Comment