BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENYUSUNAN KALIMAT EFEKTIF
Kalimat efektif adalah kalimat yang disusun berdasarkan
kaidah-kaidah yang berlaku, seperti unsur-unsur penting yang harus dimiliki
setiap kalimat (subjek dan predikat); memperhatikan ejaan yang disempurnakan;serta
cara memilih kata (diksi) yang tepat dalam kalimat. kalimat yang memenuhi
kaidah-kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar.
Menurut JS badudu kalimat efektif adalah kalimat yang
baik karena apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh si pembaca (si penulis dalam
bahasa tulis) dapat diterima dan dipahami oleh pendengar (pembaca dalam bahasa
tulis) sama benar dengan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh si penutur
atau si penulis.[1]
1.
KESEPADANAN
BENTUK
Ciri
kalimat efektif yang pertama adalah adanya kesepadanan struktur. Adapun yang
dimaksud dengan kesepadanan struktur adalah keseimbangan antara gagasan atau
pikiran dan struktur Bahasa yang
digunakan. Kesepadanan pikiran ditunjukkan oleh keutuhan dan
kepadua ide atau gagasan pada kalimat itu.[1]
Adaupun kesepadanan struktur ditunjukkan oleh kejelasan kehadira subjek yang
ganda, tidak adanya kojungsi intrakalimat yang digunakan dalam kalimat tunggal,
dan tidak adanya kata ‘yang’ di depan predikat. Kalimat-kalimat yang
ditunjukkan berikut ini semuanya tidak benar karena menyalahi ketetuan
kesepadanan pikiran dan kesepadanan struktur yang di sampaikan di depan itu.
a.
Bentuk salah :
- Kepada para
peserta diskusi di persilakan masuk.
- Sebab gubernur
tidak menyetujui usulan.
- Mereka yang menuntut keadilan.
- Saya saling
memaafkan.
b. Bentuk disunting
-
Para peserta
diskusi dipersilakan masuk.
-
Gubernur tidak menyetujui usulan.
- Mereka menuntut keadilan.
-
Mereka saling memaafkan.
c. Penjelasan
Kalimat pertama yang berbunyi, ‘kepada para peserta
diskusi di persilaka masuk.’ Tidak dapat dianggap sebagai kalimat yang benar
karena subjek kalimat itu tidak jelas alias kabur. Kekaburan atau
ketidakjelasan kalimat itu disebabkan oleh kehadiran preposisi atau kata depan
di depan subjek kalimat.
Kalimat yang kedua, ‘sebab gubernur tidak meyetujui
usulan.’ Jelas sekali merupakan kalimat yang tidak benar karena kehadiran
konjungsi intrakalimat. ‘sebab’ di posisi awal kalimat sederhana atau kalimat
tunggal. Dengan kehadiran konjungsi intrakalimat pada posisi awal kalimat
sederhana demikian itu akan mengubah status kalimat menjadi klausa. Jadi,
bentuk seperti di sebutkan di depan itu bukanlah kalimat, melainkan hanya
klausa.
Pada kalimat yang ketiga, ‘mereka menuntut keadilan’ juga
terdapat kesalahan mendasar yang menjadikan kalimat sama sekali tidak efektif.
Kesalahan itu adalah pada hadirnya kata ‘yang’ di depan predikat kalimat. Denga
kehadiran kata ‘yang’ di depan predikat kalimat itu, maka berubahlah status
kalimat sederhana itu menjadi frasa. Karena hanya berstatus frasa atau kelompok
kata, bentuk demikian itu sama sekali bukanlah kalimat. Jangankan kalimat,
klausa saja bukan. Jadi, konstruksi demikian ini benar benar tidak memenuhi
tuntutan efektivitas kalimat dalam bahasa indonesia. Maka, untuk membenahinya,
hilangkan saja ‘yang’ kalimat itu. Alternatif lain adalah dengan melegkapi
konstruksi frasa itu sehingga menjadi kalimat yang lengkap, seperti ‘mereka
menuntut keadilan sekarang ini dipenjara semua.’ Nah, kelihatan jelas sekarang,
bahwa bentuk ‘mereka yang menuntut keadilan’ adalah subjek dari kalimat itu.
Subjek kalimat di atas itu berupa frasa atau kelompok.
kata. Adaupun untuk bentuk kebahasaan yang terakhir ‘saya
saling memaafkan’ sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kalimat yang benar
dan efektif. Dari dimensi strukturnya sekilas memang tidak ada persolan, tetapi
dari segi maknanya jelas sekali terdapat persolan yang sangat serius. Bukankah
tidak mungkin tindakan yang bersifat resiprokal atau berbalasan itu dilakukan
hanya seorang diri? Dengan demikian bentuk kebahasaan seperti yang di sebutkan
di depan adalah tuturan yang tidak sepadan, yakni tidak sepadan dalam dimensi
ide atau gagasanya.
2.
KEPARARELAN BENTUK
Ciri kalimat
efektif yang kedua adalah kepararelan bentuk. Adaupun yang dimaksud dengan
kepararelan bentuk adalah kesamaan atau kepararelan bentuk kata atau frasa yang
digunakan dalam sebuah kalimat.artinya, jika dalam konstruksi yang beruntun
pada kalimat, bentuk yang pertama menggunakan nomina, bentuk kedua dan
seterusnya juga pasti menggunakan nomina[2].
Demikian juga kalau bentuk yang pertama menggunakan ajektif, bentuk yang kedua,
ketiga, dan yang seterusnya juga harus menggunakan ajektif. Jadi misalnya saja
jika ada bentuk. “Ibu ke pasar membeli minum, sayuran, dan makanan.’ Pasti
dengan mudah kita akan segera mengatakan bahwa bentuk yang demikian itu sama
sekali tidak memenuhi tuntutan kepararelan. Tentu saja, bentuk dia atas itu
harus diubah menjadi, ‘Ibu ke pasar membeli muniman, sayuran, dan makana.’ Mari
kita lihat kasus-kasus kebahasaan yang berkaitan dengan kepararelan tersebut
pada kalimat berikut ini.
a. Bentuk salah :
- Harga
BBM minggu ini segera dibakukan dan kenaikan secara lues.
- Penulis
skripsi harus melakukan pertemuan dengan penasehat akademis, mengajukan topik,
dan pembimbingan.
b. Bentuk disunting :
- Harga
BBM minggu ini segera dibakukan dan dinaikkan secara lues.
- Penulis
skripsi harus melakukan pertemuan dengan penasehat akademis, mengajukan topik,
dan menjalani pembimbingan.
c. Penjelasan
Kalimat
yang pertama tidak efektif karena di dalamnya terdapat bentuk ‘dibakukan dan
kenaikan’ yang jelas sekali tidak parallel. Bentuk ‘dibakukan merupakan verba
pasif, sedangkan ‘kenaikan’ merupakan nomina. Dalam konstruksi yang
berpasangan, demikian juga dalam konstruksi yang beruntun, bentuk kebahasaan
yang demikian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Di
dalam kalimat yang kedua, bentuk kebahasanaan yang dianggap tidak pararel itu
adalah bentuk ‘. Melakukan pertemuan dengan penasihat akademis, mengajukan
topik, dan pembimbingan’. Bentuk yang demikian itu dianggap tidak pararel
karena susunan konstruksinya adalah verba-verba nomina. Seharusnya, konstruksi
yang digunakan adalah ‘verba-verba-nomina’. Nah, kesalahan-kesalahan yang
sepertinya trivial, kecil, dan serasa kurang signifikan demikian ini banyak
terjadi di dalam tulis menulis dan karang mengarang.
Para
penulis dan peneliti harus benar benar mencermati prinsip paralelisme dalam
berbahasa demikian ini ketika mengonstruksi sebuah kalimat. Demikian pula para
penyunting bahasa, harus benar benar cermat dan tidak perlu ragu ragu untuk
mengubah dan membenahinya ketika berhadapan dengan bentuk bentuk kebahasaan
yang tidak pararel demikian ini. Sekilas memang sepertinya tidak dapat
persoalan pada kalimat-kalimat yang tidak pararel demikian itu. Akan tetapi,
jika prinsip prinsip efektivitas dalam kalimat itu diterapkan, akan segera
diketahui terdapat persoalan yang besar.
3.
KETEGASAN MAKNA
Ciri kalimat
efektif dalam bahasa Indonesia adalah adanya ketegasan makna. Adaupun yang di
maskud dengan ciri ketegasan makna itu adalah bahwa perlakuan penonjolan pada gagasan
pokok kalimat tersebut. Dengan perkataan lain, gagasan yang hendak ditonjolkan
itu harus di letakkan pada posisi depan pada sebuah kalimat. Dengan
pengedepanan gagasan atau ide yang hendak di tonjolkan itu, ketegasan makna
dapat diperoleh dalam kalimat itu.
Informasi yang harus di ketahui dan diperoleh
terlebih dahulu oleh para pembaca, akan mudah di ketemukan secara langsung oleh
para pembaca, yakni dengan mengidentifikasikan bentuk kebahasaanya yang di
tonjolkan itu. Ambil saja contoh, ‘Tujuan saya melakukan penelitian ini adalah
…’. Dari bentuk kebasahaan itu jelas jelas kelihatan bahwa bentuk yang
tonjolkan adalah ‘tujuan saya’, bukan yang lain-lainnya. Maka dengan mudah
pula, pembaca akan dapat menangkap maskud penonjolan bentuk kebahasaan itu,
yakni sebagai informasi baru yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Nah, dari berbagai sumber yang dapat dijangkau oleh penulis juga dari pengalaman dan pencermatan
yag dilakukanya selama ini, penegasan makna atau maksud dari kebahasaan itu dapat dilakukan
degan sejumlah cara. Setidaknya terdapat 5 cara yang dapat dilakukan untuk
maksud ini yakni
:
1.meletakan
bagian yang hendak di tonjolkan itu ke bagian depan kalimat
2.
membuat urutan kata-kata yang bertahap.
3.
membuat pegulangan secara proporsioal.
4.
membuat pertetangan atas ide atau pikiran yang di tonjolkan.
5.
menggunakan beberapa partikel penegas/penekan.
Berikut ini adalah beberapa contoh
kalimat yang telah memenuhi standar penegasan makna itu.
-
Saya suka kecantikannya, saya suka kelembutannya, saya
suka senyumnya.
-
Dialah pelaku pembunuhan 7 gadis di Surabaya tahun lalu.
-
Jangankan 1 juta, 500 ribu, 200 ribu, 100 ribu saja dia
tidak punya.
Kalimat yang pertama menegaska maksud dengan mengulang
bentuk ‘saya suka’. Jadi, pasti kalimat ini memberikan penekanan pada entitas
kebahasaan itu, bukan pada entitas kebahasaan yang lainya.
Kalimat yang kedua membuat penegasan dengan cara
memerantingkan partikel penegas ‘lah’. Harap di catat pula bahwa penegasan
makna dengan dengan pemerantian partikel dapat dilakukan dengan dua cara, yakni
dengan ‘lah’ dan dengan ‘pun’. Partikel ‘kah’ dan partikel yang sudah cenderung
kuno, ‘tah’ sepertinya tidak banyak berlaku sebagai peranti pemertegas pada
pemakaian bahasa indonesia kontemporer sekarang ini.
Kalimat yang ketiga, penegasan itu dilakukan dengan model
penahapan, tetapi penahapannya bersifat menurun. Nah, para penulis, peneliti
dan penyunting bahasa harus benra benar memperhatikan ini. Sebuah kalimat
dibuat efektif, diantaranya dengan cara memvariasikan dimensi-dimensi
penonjolannya. Hal demikian agaknya sejalan pula dengan kelaziman yang ada di
dalam masyarakat kita bahwa yang penting memang berapa pada posisi yang di
tonjolkan, yang dipentingka hampir selalu berada di bagian depan.
4.
KEHEMATAN KATA
Ciri kalimat efektif yang keempat adalah ‘kehematan
kata’. Akan tetapi, juga harus diingat di sini bahwa tidak selalu yang hemat
kata-kata, yang pendek bentuknya, pasti bersifat efektif. Jadi, prinsip
ketercukupan dalam pemakaian bentuk betuk kebahasaan saya rasa sangat penting
di tekankan di sini. Artinya, kalau memang tuturan itu harus dibuat pendek,
kenapa harus dibuat berpanjang-panjang. Sebaliknya, jika memang dengan tuturan yang
dipotong, ternyata tidak didapatkan bentuk kebahasaan yang efektif digunakan
untuk menyampaikan pesan, tentu saja bentuk kebahasaan yang sedikit lebih
panjang tetap diperbolehkan. Nah, dalam kaitan dengan rumusan
kalimat yang berciri hemat dan efektif demikian ini, lazimnya didapatkan pula
bahwa di dalam kalimat itu haru ada :
1. Penghilangan
pengulangan subjek
2. penghilangan
superordiate
3. Penghindaran
kesinoniman.
Bentuk
kebahasaan seperti ‘Anak-anak itu saya sudah memperingatkan,’, sekalipun bagi
orang-orang tertentu yang sungguh paham dengan kaidah-kaidah kebahasaa, tidak
akan pernah membuat atau menyusunnya, tetapi ternyata dalam kebanyakan karangan
atau tulisan masih ditemukan juga bentuk kebahasaan yang memiliki ciri
kegandaan dalam hal subjek kalimat yang demikian ini. Bentuk ‘anak-anak itu’
dan ‘saya’ pada kalimat itu, jelas sekali menduduki posisi subjek kalimat.
Kegandaan dalam hal subjek kalimat yang demikian ini, selain tidak efektif,
juga sangat tidak gramatikal di dalam Bahasa indonesi. Maka, bentuk kebahasaan
yang demikian ini harus dihilangkan karena memang tidak berterima.
Selanjutnya,
bentuk superordinat itu lazimnya muncul kalau bentuk kebahasaan yang dianggap
sebagai supeordinat itu memiliki sejumlah perincian. Bentuk ‘bunga’ dikatakan
saja, memiliki subordinat ‘mawar’, ‘melati’, ‘kenanga’, dan seterusnya. Adaupun
bentuk subordinat untuk ‘warna’ adalah ‘biru’, ‘merah’, ‘hijau’, dan
seterusnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk ‘warna merah’, atau
‘warna putih’, adalah bentuk kebahasan yang salah.
Demikian pula
bentuk ‘bunga mawar’ atau ‘bunga kenanga’ atau ‘bunga melati’ adalah
bentuk-bentuk kebahasaan yang sangat tidak efektif karena didalam bentuk-bentuk
kebahasaan itu serta merta terdapat supeordinatdan subordinat sekaligus.
Selanjutnya, bentuk-bentuk yang bermakna sama atau bersinonim harus
dihindarkan untuk menjamin kehematan
sebuah kalimat. Bentuk ‘sekarang’ dan ‘sedang’ secara sistematis menunjuk pada
hal yang sama. Demikian pula dengan Bentuk ‘kini’ dan ‘sedang’ atau ‘sekarang’
dan ‘tengah’. Dalam konteks kehematan kata-kata ini pula, dapat katakana bahwa
bentuk kebahasaan yang demikian ini sama sekali tidak hemat karena di dalamnya
terkandung bentuk-bentuk yang sifatnya lewah atau mubazir. Nah, para penulis,
peneliti, dan penyunting Bahasa harus benar-benar cermat denganbentuk-bentuk
kebahasaan yang demikian ini. Hampir dipastikan, bahwa di dalam setiap kerja
penyuntingan dan tulis-menulis atau karang mengaran, kesalahan kebahasaan yang
demikian ini selalu terjadi. Mohon diperhatikan lebih lanut bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak benar seperti yang disampaikan berikut ini.
a.
Bentuk Salah :
-
Saat ini, Sally memakai baju berwarna merah jingga
-
Banyak anak-anak berkeliaran di jalan menuju lokasi kejadian.
-
Buku itu saya mudah membaca
-
Dia sedang mengambilli buku di mejanya.
-
Sekarang ini ia sedang membersihkan mobilnya di halaman belakang.
b. Bentuk disunting
-
saat ini, Sally memakai baju merah jingga
-
Banya anak berkeliaran di jalan menuju lokasi kejadian.
-
Saya sudah membaca buku itu.
-
Dia sedang mengambil buku di mejanya.
-
Sekarang ini ia membersihkan mobilnya di halaman belakang.
5.
KECERMATAN DAN KESANTUNAN
Yang
dimaksud cermat adalah bahwa kalimat itu tidak menimbulkan tafsiran ganda dan
tepat dalam pilhan kata.[3] Persoalan
kecermatan di dalam pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan adalah persoalan yang
sangat tidak mudah untuk diselesaikan. Banyak kesalahan kebahasaan yang
dilakukan oleh para penulis, peneliti, dan penyunting Bahasa, yang kadang kala
sumber pokoknya adalah pada masalah ketidaktelitian dalam memerantingkan
bentuk-bentuk kebahasaan yang demikian itu. Adaupun yang dimaksud dengan
kecermatan Bahasa itu pada intinya adalah kehati-hatian dalam menyusun kalimat
dan bentuk-bentuk kebahasaan yang lain sehingga hasilnya tidak akan menimbulkan
tafsir ganda.
Bentuk-bentuk
kebahasaan yang memiliki tafsir ganda itu biasanya adalah bentuk-bentuk
kebahasaan yang memilki makna ambigu, atau makna yang lebih dari satu. Nah,
dalam ilmu Bahasa pragmatikatau sosiopragmatik, kegandaan pemaknaan
bentuk-bentuk kebahasaan demikian itu terjadi karena orang melepaskan konteks.
Bilamana orang melibatkan konteks kebahasaan dengan benar-benar cermat, dan
juga konteks-konteks nonkebahasaanny, mustahil tafsir yang ganda itu akan
terjadi. Jadi, selalu libatkanlah konteks-konteks kebahasaan di dalam
menafsirkan sebuah bentuk kebahasaan hal lain yang juga sangat berpengaruh
terhadap pemaknaan sebuah entitas kebahasaan adalah masalah pikiran kata atau
diksi Bahasa.
Kecermatan
dan ketepatan pengungkapan maksud atau makna kebahasaan tidak dapat dilepaskan
dari keakuratan seseorang dalam memerantingkan diksi. Maka, segala sesuatu yang
telah disampaikan pada bab terdahulu, terutama yang berkaitan dengan persoalan
diksi atau pilihan kata, silakan dipelajari dan dicermati dengan lebih baik.
Saya hendak menegaskan bahwa baik atau buruknya Bahasa seseorang, santun atau
tidaknya bentuk kebahasaan yang digunakan seseorang, akan sangat ditentukan
oleh pilihan kata yang digunakan oleh seorang yang bersangkutan. Bahasa yang
cerma pertibambangan dimensi-dimensi konteksny, biasanya juga adalah Bahasa
yang cenderung bersifat santun. Dengan Bahasa yang benar-benar cermat dan
santun demikian itu, hubungan yang harmonis dan relasi yang cenderung bersifat
positif akan dapat terjadi dengan baik. Dalam ilmu Bahasa pragmatik dan
sosiopragmatik juga dikenal prinsip penyelamatan muka atau face-saving. Kalimat-kalimat
yang cermat dan santun dapat dipastikanakan mampumenjaga muka seseorang. Akan
tetapi, kalimat-kalimat yang ceroboh, yang tidak cermat, yang tidak santun,
dipastikan akan mencoreng muka seseorang. Setidaknya, semua itu akan dapat
mencoreng muka si penulisnya sendiri. Nah, berkenaan dengan hal-hal ini, mohon kalimat-kalimat
berikutini dipelajari dan dipertimbangkan dengan baik. Carilah dan temukanlah
bentuk-bentuk kebahasaan lain yang juga memiliki ciri kecermatan dan kesantunan
yang rendah demikian itu, kemudian benahilah supaya menjadi bentuk-bentuk kebahasan
yang lebih baik.
a.
Bentuk Salah :
-
Yang diceritakan buku itu menceritakan para putri raja.
-
Banjir di Jakarta membanjiri wilayah perbelanjaan.
-
Wajahmu norak persis seperti hantu kesiangan.
-
Mobil barumu bagus tapi persis gerobak.
b.
Bentuk disunting
-
Buku itu menceritakan para putri raja.
-
Banjir di Jakarta meluapi wilayah perbelanjaan.
-
Wajahmu kurang menarik.
-
Mobil barumu bagus.
6.
KEPADUAN MAKNA
Kalimat
efektif dalam Bahasa Indonesia juga harus memiliki ciri kepaduan makna. Adaupun
yang dimaksud dengan ‘padu’ adalah ‘bersatu’. Dengan demikian, dapat dikatakan
pula bahwa bentuk kebahasaan yang ‘padu’ adalah bentuk kebahasaan yang ‘tidak
terpecah-pecah’,[4]
atau bentuk kebahasaan yang ‘bersatu’. Kebarsatuan atau kepaduan bentuk bentuk
kebahasaan demikian itu jelas sekali akan sangat berengaruh terhadap makna atau
maksud sebuah bentuk kebahasaan. Bentuk kebahasaan yang padu, juga dipastikan
akan dapat menjadikan makna kebahasaan tersebut padu. Dengan, demikian, dapat
dikatakan bahwa kalimat efektif itu salah satunya harus memenuhi kepaduan
bentuk dan kepaduan makna. Sebuah kalimat akan dikatakan padu, pertama-tama
bila susunannyatidak ‘bertele-tele’. Kalimat yang bertele-tele biasanya sama
sekali tidak dapat diguakan untuk menyampaikan gagasan atau ide yang tepat,
padat, pendek, dan akurat.
Dalam
tulis menulis atau karang-mengarang terdapat sebuah prinsip yang harus diikuti
oleh setiap orang, yakni bahwa bila Anda dapat menggunakan bentuk kebahasaan
yang pendek untuk menyampaikan sebuah maksud kebahasaan, kenapa harus digunakan
untuk kebahasaan yang relative berpanjang-panjang. Jadi, bentuk kebahasaan yang
cenderung ‘berpanjang-panjang’ demikian inilah yang dimaksud dengan bentuk
kebahasaan yang bertele-tele, kalau dengan kata ‘rapat’ saja cukup jelas,
kenapa harus dibuat bentuk ‘menyelenggrakan rapat’ atau ‘mengadakan rapat’.
Demikian pula kalau bentuk ‘menembak’ saja cukup, kenapa harus diungkapkan
dengan bentuk ‘menembak peluru’. Juga kalau dengan bentuk ‘memberitakan’ sudah
lengkap gagasan yang hendak disampaikan itu, kenapa pula harus menggunakan
bentuk ‘menyampaikan berita’. Jadi, para penulis, peneliti, dan penyunting
Bahasa harus benar-benar memiliki sikap yang sungguh tegas dengan bentuk-bentuk
kebahasaan yang berpanjang panjang atau bertele-tele demikian ini. Selanjutnya,
kesalahan kebahasaan lain yang juga berkenaan dengan masalah kepaduan bentuk
dan makna kebahasaan ini adalah konstruksi yang ditengah-tengahnya disela oleh
kata ‘daripada ‘ atau kata ‘tentang’ antara kata kerja dan objek penderita.
Nah, para penulis, peneliti, dan penyunting Bahasa, harus benar-benar
memperhatikan persoalan kebahasaan yang berkaitan dengan hal ini.
Model-model
kesalahan Bahasa seperti ditunjukkan berikut ini silakan dikembangkan terus,
supaya ditemukan kesalahan-kesalahan kebahasaan lain dalam jumlah yang lebih
banyak. Dengan ditemukan model-model kesalahan kebahasaan yang variatif dan
jumlahnya banyak itu, pekerjaan Anda selanjutnya akan sangat dimudahkan.
a.Bentuk
Salah :
-
Kita harus memperhatikan daripada kehendak rakyat.
-
Rapat pimpinan hari ini membicarakan tetang kenaikan upah karyawan.
b.
Bentuk disunting :
-
Kita harus memperhatikan kehendak rakyat.
-
Rapat pimpinan hari ini membicarakan kenaikan upah karyawan.
7.
KELOGISAN MAKNA
Ciri
efektivitas kalimat
efektif dalam Bahasa indoneisa juga dapat dilihat dari dimensi kelogisan
maknanya. Kelogisan makna sangat berkaitan dengan ‘nalar’, maka sesungguhnya dapat
dikatakan pula bahwa kalimat yang logis itu sesungguhnya adalah kalimat yang ide atau gagasannya sejalan dengan akal
nalar yang benar dan berlaku universal. Nah, orang mungkin sering tidak
mencermati bahwa bentuk ‘mempersingkat waktu’ adalah bentuk kebahasaan yang
tidak logis, Bentuk yang demikian itu bertentangan dengan akal sehat,
bertentangan dengan logika umum, sekalipun secara sekilas tidak ada persoalan dengan
bentuk kebahasan yang demikian itu. Pertanyaannya, dapatkah ‘waktu’
dipersingkat? Tau, dapatkah ‘waktu diperpanjang’? tentu saja tidak! Entitas
waktu hanya dapat dihemat sehingga waktu yang lama panjangnya 24 jam itu dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baikny, maka, bentuk ‘mempersingkat waktu’ adalah
bentuk yang salah nalar. Contoh bentuk kebahasaan lain yang juga dikatakan
sebagai bentuk yang salah nalar atau bertentangan dengan logika umum adalah
bentuk “mayat bergentayangan’, tidaklah
sejalan dengan akan sehat jika ada perkataan ‘mayat bergentayangan’ karena yang
benar adalah arwah bergentayangan, anehnya, sekalipun bentuk kebahasaan yang
disampaikan di depan itu tidak benar, tetapi dalam pemakaian Bahasa yang
sesungguhnya sering muncul bentuk kebahasaan yang demikian itu.
Tentu
saja masih banyak bentuk kebahasaan yang lain seolah-olah benar, dapat
digunakan, dan, tidak ada persoalan di dalamnya. Tetapi sesungguhnya bentuk
kebahasaan itu tidak benar karena memang salah nalar. Maka, para penulis,
peneliti, penyunting Bahasa harus benar-benar cermat dan teliti bilamana
bertemu dengan bentuk kebahasaan yang demikian ini.
a.Bentuk
salah :
-
Untuk mempersingkat waktu, kita teruskan acara ini dengan…
- kepada Bapak Direktur, waktu dan
tempat dipersilakan.
-
Mayat mahasiswi yang meninggal itu sering bergentayangan di kampus ini.
-
Di sini di jual sup buntut, sup brenebon, dan kaki sapi.
b.Bentuk
di sunting :
-
Untuk menghemat waktu, kita teruskan acara ini dengan…
-
Bapak Direktur, waktu dan tempat dipersilakan.
-
Arwah mahasiswi yang meninggal itu sering bergentayangan di kampus ini.
-
Di sini di jual sup buntut, sup brenebon dan sup kaki sapi.
[1] Dr.R. Kunjana Rahardi,
Penyuntingan Bahasa Indonesia untuk karanng mengarang, Yogyakarta, 2010. PT
Gelora Aksara hal, 129.
[2] Prof. Dr. E
Zaenal Arifin, M.Hum dan Drs. S Tasai Amran, M.Hum. Cermat Berbahasa
Indonesia, Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2010
[3] Ibid., 103.
[4] Ibid., 103
No comments:
Post a Comment