Tuesday, July 10, 2018

Pengertian Konflik, Konflik Politik, Jenis, dan Macam macamnya


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam ilmu sosial di kenal dua pendekatan yang saling bertentangan untuk memandang masyarakat, kedua pendekatan ini meliputi pendekatan struktural-fungsional (consensus) dan pendekatan struktural konflk. Pendekatan konsensus berasumsi masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Kecuali itu. Masyarakat terintegrasi atas dasar suatu nilai yang di sepakati bersama sehingga masyarakat selaludalam keadaan keseimbangan dan harmonis, lalu pendekatan konlflik berasumsi masyarakat mencakup pelbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan, kecuali itu masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik kedua pendekatan ini mengandung kebenaran tetapi tidak lengkap.
Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan selalu menuju ke arah kesepakatan, (konsensus), selain itu, masyarakat tak mungkin terintegrasi secara permanen dengan mengandalkan kekuasaan paksaan dari kelompok yang dominan. Sebaliknya, masyarakat yang terintegrasi atas dasar konsensus sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen tanpa adanya kekuasaan paksaan. Jadi konflik dan konsensus merupakan gejala-gejala yang tak terelakkan dalam masyarakat.
Istilah konflik dalam ilmu politik acap kali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, revolusi, konflik persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok dengan pemerintah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa Pengertian konflik dan Toeri Konflik?
b. Apa Pengertian Konflik Politik?
c.  Apa Penyebab Konflik Politik?
d. Apa Bentuk Bentuk Konflik Politik?
e. Bagaimana Studi Kasus Konflik Politik Di Indonesia?     
1.3 TUJUAN
a. Untuk Mengetahui Pengertian konflik dan Toeri Konflik
b. Untuk Mengetahui Pengertian Konflik Politik
c. Untuk Mengetahui Apa Penyebab Konflik Politik
d. UntukMengetahui Bentuk Bentuk Konflik Politik
e. Untuk Mengetahui  Studi Kasus Konflik Politik Di Indonesia
1.4 MANFAAT
a.       Untuk pemerintah
Sebagai masukan dan dorongan agar bisa menimalisir benturan serta konflik yang ada di masyarakat dan pemerintah
b.      Untuk Dosen
Sebagai acuan dan penambahan untuk media pembelajaran di tingkat lingkungan akademisi.
c.       Untuk Mahasiswa
Sebagai model mata kuliah dan menambah wawasan dan refrensi dan bahan bacaan












BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KONFLIK
Istilah Konflik “secara etimologis berasal dari Bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
2.1.1 TEORI KONFLIK MARX
Dalam pendekatan ini kita akan merujuk pada teori sosial yang di kemukakan oleh Karl Marx sebagai landasan pembahasan sub bab ini. Beberapa pandangan Marx tentang kehidupan sosial yaitu:[1]
1.      Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan
2.      Negara di pandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.
3.      Paksaan (Coercien) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial., seperti milik pribadi (property) perbudakan (slavery), capital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
4.      Kelas-kelas di anggap sebagai kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain, sehingga konflik tak terelakkan.
Secara umum pendekatan konflik ini dapat dibagi menjadi dua, diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx yang memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan sarana alat produksi (Property) yaitu kelas borjuis dan proletar. Kelas borjouis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi sehingg dalam hal ini adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi. Yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha. Kelas Proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya. Menurut Marx, masyarakat terintegrasi karena adanya struktur kelas dimana kelas borjuis menggunakan negara dan hukum untuk mendominasi kelas proletar.
2.1.2 TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF
Sebagaimana di kemukakan oleh Ralf Dahrendorf bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemikiran kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi). Menurut teori ini, masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai masyarakat banyak. Teori Dahrendorf justru merupakan kritik atas teori Karl Marx, terutama menyangkut dua hal yaitu:[2]
1.      Teori Marx mencampuradukkan antara teori Sosiologi yang empiris (dapat diuji kebenarannya secara factual) dan konsep-konsep yang bersifat filosofis yang tidak dapat diverifikasi (diuji) dengan fakta-fakta. Contoh : Masyarakat tanpa kelas merupakan kehidupan sosial terakhir yang membentuk kehidupan masyarakat tanpa kelas tidak pernah ada dalam kehidupan sosial.
2.      Kapitalisme berubah bukan melalui revolusi sosial, akan tetapi melalui proses Transformasi. Dalam proses transformasi kapitalisme terdapat enam perubahan yang penting yaitu :
a. Pembagian Komposisi Capital, yaitu timbulnya penggolongan (diferensiasi) kelas borjuis seperti pemilik saham dan manajer perusahaan. Kelas pemilik saham merupakan kelas pemilik sarana produksi, sedangkan kelas manajer adalah kelas pengontrol sarana produksi. Dalam hal ini, kepentingan pemilik saham dan manajer tidak selalu sama.
b. Pembagian Komposisi Buruh. Marx menganalisis buruh dalam masyarakat industri lebih bersifat homogen, akan tetapi kenyataan yang ada komposisi buruh adalah heterogen. Heterogenitas buruh tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu buruh yang tidak berketrampilan (Unskilled-Labour), dan buruh berketrampilan seni (Semi Skilled-Labour). Perbedaan tingkat keterampilan ini akan menimbulkan perbedaan kepentingan pula.
c. Tumbuhnya “Kelas Menengah Baru” (New Middle Class) yang merupakan bagian dari mata rantai kewenangan (birokrat) dalam kelas ini baik yang berposisi tinggi maupun rendah sama-sama melaksanakan kewenangan sehingga posisi mereka secara langsung berkaitan dengan kelompok dominan dalam masyarakat dan pekerja menduduki posisi di luar heirarki kewenangan. Kelas kedua dari kelompok ini menduduki posisi yang lebih dekat dengan pekerja manual.
d. Meningkatnya Mobilitas Sosial baik secara intergenerasi dan antar generasi. Mobilitas intergenerasi akan menghilangkan kelas-kelas sosial, sedangkan mobilitas antargenerasi yang ditandai dengan adanya tingkat akan mengubah konflik ke kelompok menjadi kompetisi individual. Dengan demikian, maka perjuangan bersifat kompetisi antar-individu untuk mendapatkan kedudukan terhormat di dalam kehidupan sosial.
e. Perbaikan Hak-Hak Politik Warga Negara terutama yang berkaitan dengan jaminan sosial warga negara. Didalam perbaikan hak-hak politik rakyat ini terdapat kelompok-kelompok atau asosiasi-asosiasi politik yang menuntut hak-haknya kepada pemegang kekuasaan. Biasanya tuntutan-tuntutan tersebut berupa tuntutan kesejahteraan, jaminan keamanan, kepastian hukum, keadilan, dan sebagainya. Biasanya, realitas politik dalam kondisi tersebut menimbulkan dua kelompok besar; yang satu memberikan dukungan kepada pemerintah dan yang lain melakukan tuntutan kepada pemerintah terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan nasib warga negara kepada negaranya.
f. pelembagaan Konflik Kelas dalam bentuk pengakuan prosedur arbitrase, diantaranya pengakuan hak-hak buruh untuk mogok kerja, prosedur penyelesaian perbedaan sebagai sarana untuk mencegah konflik sosial, dan sebagainya.

2.1.3 TEORI KONFLIK JONATHAN TURNER
Jonathan Turner merumuskan kembali teori Konflik dalam tiga pandangan tentang Konflik, yaitu:[3]
1.      Tidak ada yang jelas tentang gejala mana yang termasuk konflik itu (yakni apakah yang termasuk konflik dan yang bukan konflik), sebab ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut istilah konflik seperti permusuhan, perang, persaingan, antagonism, tekanan, pertengkaran, perbedaan, pendapat, kontravensi, kekejaman, revolusi, perselisihan, dan sebagainya persoalannya adalah istilah manakah yang dimaksud sebagai konflik di dalam teori konflik itu sendiri.
2.      Teori Konflik tampak mengambang karena tidak menjelaskan unit analisis tentang konflik, apakah konflik tersebut terjadi antar individu, kelompok, organisasi, kelas-kelas sosial, atau konflik antarbangsa.
3.      Teori Konflik sulit melepaskan dari teori Fungsional, karena pada dasarnya teori ini merupakan reaksi dari teori fungsionalis struktural. Keadaan ini membuat teori konflik jauh dari akarnya, yaitu teori Marxisme.
Berangkat dari pemikiran itulah Jonathan Turner lalu memusatkan perhatiannya pada konflik sebagai proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Ia menjelaskan Sembilan tahap menuju konflik terbuka, yaitu :
1. sistem sosial terdiri dari unsur unsur atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Didalam unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan.
3. unit-unit atau kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai mempertanyakan legitimasi sistem tersebut.
4. Pertanyaan atas legitimasi itu membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.
5. Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing untuk marah.
6. Kemarahan tersebut sering kali meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisasi.
7. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka saling tegang.
8. Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa.
9. Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan dalam konflik sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara objektif atau kemampuan masing-masing pihak untuk menanggapi, mengatur, dan mengontrol konflik itu.
     Dalam kesembilan tahap tersebut, Turner merumuskan kembali proses terjadinya konfik dalam sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada akhirnya konflik yang terbuka antara kelompok-kelompok yang bertikai sangat beruntung kepada kemampuan masing-masing pihak untuk mendefinisikan kepentingan mereka secara objektif dan untuk menangani, mengatur, dan mengontrol kelompok itu.
2.2 PENGERTIAN KONFLIK POLITIK
Konflik politik adalah konflik yang bersnagkutan dengan Negara atau pemerintahan otoritas politik dan kebijakan. Ada sejumlah politik yang dari sifatnya berdampak politik karena langsung melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Termasuk konflik antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dkuasai pemerintah, atau kegiatan kelompok masyarakat yang didukung dengan sejumlah golongan untuk melakukan kudeta atas pemerintahan yang berkuasa. Konflik merupakan gejala yang serba-hadir dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu, salah satu dimensi penting proses politik ialah penyelesaian konflik yang meiibatkan pemerintah. Proses “penyelesaian” konflik politik yang tak bersifat kekerasan dibagi meniadi tiga tahap. Adapun ketiga tahap ini meliputi  tahap politisasi dan/atau koalisi tahap pembuatan keputusan, tahap pelaksanan dan integrasi.
Apabila dalam masyarakat terdapat konflik politik di antara berbagai pihak, dengan segala motivasi yang mendorongnya, masing-masing pihak akan berupaya merumuskan dan mengajukan tuntutan pada pemerintahan selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Agar tuntutan mendapat perhatian dari pemerintah, para kontestan akan berusaha mengadakan politisasi Artinya, memasyarakatkan  tu  ntutannya melalui berbagai media komunikasi sehingga meniadi 'isu politik". Dengan kata lain menjadi bahan pembicaaaan baik di kalangan pengemuka pendapat (opinion leader) maupun di kalangan pemerintah. Dalam tahap ini, setiap kontestan akan mengadakan perhitungan mengenai cara yang paling efektif untuk memperuangan  tuntutannya, yakni apakah dengan mengadakan koalisu dengan pihak Iain atau cukup memperjuangkannya sendirian? Hal ini perlu dipertimbangkan karena untuk memperjuangkan sesuatu tuntutan jelas memerlukan dana, waktu, keterampilan, strategi, dukungan massa  dan sumber-sumber lain yang mungkin hanya dapat dipenuhi apabila beralokasi dengan kelompok lain yang memilih kepenting  yang sama dengannya atau bersimpati pada  tuntutannya.
2.3 PENYEBAB KONFLIK POLITIK
Pada dasarnya konilik politik disebabkan oleh dua hal. Konflik poltik itu  mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal. yang dimaksud dengan kemajemukan horizontal ialah struktur yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa,daerah ,agama, dan ras; majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi,  seperti petani, buruh, pedagang. pengusaha, dan dalam arti perbedaan karakteristik  tempat tinggal seperti desa dan kota. kemajemukam horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya darl ancaman kultur lain. Dalam masyarakat yang berdiri demikian lnl, apabila belum ada konsensus nilal yang menjadi pagangan bersama konllik poltik karena benturan budaya akan menimbulkan pemng saudara ataupun gerakan separatisme.
Kemajemukan horizontal sosial dapat menimbulkan  konllik sebab masing-masing kelompok yang berdasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kelompok masyarakat yang tinggal di kota, misalnya, menghendaki  harga beras dan bahan bakar minyak dikendalikan oleh pemerintah dan kalau perlu disubsidi oleh pemerintah sedangkan masyarakat yang tinggal di desa menghendaki agar pemerintah membiarkan harga-harga beras dan bahan bakar minyak berkembang sesuai dengan mekanisme pasar. Sebaliknya, pemerintah hanya berperan dalam menciptakan dan menegakkan aturan main yang adil. Kemajemukan vertikal ialah struktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut jadi, distribusi  kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik politik.  
Akan tetapi kenyataan menunjukkan perbedaan kepentingan karena kemajemukan horizontal dan vertikal tidak dengan sendirinya menimbulkan politik. Hal mi disebabkan adanya fakta terdapat sejumlah masyarakat menerima perbedaan-perbedaan tersebut. Perbedaan-perbedaan masyarakat ini baru menimbulkan konflik apabila kelompok tersebut memperebutkan sumber yang sama, seperti kekuasaan, kekayaan, kesempatan dan kehormatan.
2.4 BENTUK-BENTUK KONFLIK POLITIK
Konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe, kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatife. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tak mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan. Pemerintah, pers dan forum-forum terbuka yang Iain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu mérupakan contoh konflik positif. Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem poiitik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara non-konstitusional, sepérti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi. Katcgori ini mengundung kelemahan. Apabila mayoritas memandang lembaga dan struktur yang ada tidak mencerminkan kepentingan umum, konflik  yang disalurkan melalui mekanisme politik justru dipandang sebagai konflik yang negatif. Sebaliknya, tindakan  yang menentang sistem yang tidak mencerminkan kepentingan umum dipandang sebagai konflik yang positif.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik bersifat positif atau negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama pada sikap masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku. Dalam hal ini, yang menjadi patokan untuk menetukan suatu konflik bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi sistem politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku.
Sehubungan dengan konflik positif dan negatif, sesungguhnya masyarakat dapat dikelompokan secara umum menjadi dua tipe. Pertama, masyarakat yang mapan. Artinya, masyarakat yang memiliki dan mendaya gunakan struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Konflik yang dianggap positif dalam masyarakat ini berupa konflik yang disalurkan melalui cara-cara di luar struktur. Konflik yang negatif berupa tindakan yang menentang struktur yang ada, dan yang disalurkan melalui cara-cara diluar struktur kelembagaan yang ada. Kedua, masyarakat yang belum mapan. Artinya, masyarakat yang belum memiliki struktur kelernbagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh mayarakat. Biasanya struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi, sélain tidak, didukung oleh sebagian masyarakat juga belum berfungsi sebagaimana mestinya. Konflik yang dianggap positif dalam masyarakat ini acap kali justru konflik yang disalurkan melalui cara-cara di luar struktur kelembagaan yang ada karena dianggap lebih efektif. Kategorisasi itu tentu lebih bersifat analitis (lebih kurang) daripada pengelompokan secara hitam putih. Sebab dalam kenyataan, konflik dan dukungan masyarakat terhadap sistem yang ada (struktur kelembagaan] tidak sesederhana itu.
2.5 KONFLIK POLITIK DI INDONESIA
2.5.1 KONFLIK ACEH
Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang. Akar konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno. Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia
Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.
Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh. 
Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama. Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat. 

Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu   keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.
Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa. Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka. 
Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. 
Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri. 
Di bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari c  adangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa mendatang. 
Dalam masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 
Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini. 

2.5.2 KERUSUHAN ETNIS DI AMBON TAHUN 1999
Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Hingga 2 September 1991 setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000 ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya. Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan terhenti.
Tidak ada yang tahu bahwa orang ambon sebagai daerah yang sangat sentral peranannya dalam masa kolonial belanda dulu, dimana daerah ini banyak digunakan sebagai agen tentara oleh kolonial. Sehingga tidak heran masih banyak orang ambon yang masih tidak ingin berintegrasi dalam Indonesia karena mereka sudah terlalu “enak” di ayomi oleh bangsa Belanda.
Pada saat sekarang bangsa Ambon banyak memeluk agama Islam dan Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.
Sehingga tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen agama yang diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan di masing-masing agama sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Seorang saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di kampung Batu Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari 1999 dia tak memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa. Tapi pada pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar. Amir mengatakan dia tinggal di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia hampir mengenal semua wajah warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang memimpin rombongan besar massa penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang Batu Merah. Sekitar lima orang di muka rombongan itu mengenakan kain putih pada lengan mereka. Amir lalu menelpon ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab bahwa mereka sudah menyerahkan persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari libur lebaran, tidak ada orang masuk kerja. Amir mengatakan, di antara rombongan massa itu dia melihat sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya meletuskan tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus maju.
Rombongan massa berhenti di depan bengkel mobil yang terletak di bagian bawah dari rumahnya. Mereka rupanya menemukan kain-kain lap kotor berlumuran minyak. Mereka menyulut kain-kain itu, lalu dengan menggunakan parang-parang panjang, mereka menyulut bagian-bagian lain dari bengkel sehingga api masuk ke dalam rumah. Rumah Amir juga dibakar sampai rata dengan tanah, seperti semua rumah yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun sebetulnya masjid itu belum tersentuh sama sekali.
Kerusuhan Ambon priode kedua yang diawali dengan pecahnya kerusuhan di pulau Saparua pada hari Kamis, tanggal 15 Juli 1999 menurut hasil investigasi sementara diakibatkan oleh dendam dan rekayasa pihak-pihak tertentu.
Setelah pecahnya kerusuhan di Desa Siri Sori Islam, Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan juga kota Saparua pada tanggal 15 dan 16 Juli 1999, maka pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1999 mulai terjadi kegiatan lempar-melempar batu antara pihak Muslim dan pihak Kristen di Desa Poka dan daerah sekitarnya Gang Diponegoro Kota Ambon.
Pristiwa saling lempar-melempar batu di sekitar Perumnas Poka tersebut kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atas rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim di kompleks Perumnas Poka yang kemudian dibalas dengan pembakaran rumah-rumah termasuk rumah-rumah Dosen Muslim di Desa Poka dan Kompleks Universitas Pattimura oleh warga Kristen.
Bersamaan dengan itu warga Kristen sekitar Kudamati melakukan aksi pembalasan pembakaran dan pembantaian terhadap warga Muslim suku Buton di daerah Wara (Kramat Jaya) yang berada di sekitar Kompleks TVRI Gunung Nona dan perkampungan warga Muslim Banda Eli di OSM Ambon yang mengakibatkan beberapa buah rumah terbakar dan puluhan korban meninggal dunia.
Dari peristiwa ini kerusuhan mulai melebar ke mana-mana hampir di seantero Kotamadya Ambon dan daerah-daerah pinggirannya. Dari hasil investigasi, ternyata mulai hari Selasa, tanggal 27 Juli 1999 kerusuhan pecah antara lain di Desa Rumahtiga (tetangga Desa Poka), dimana hampir sebagian besar rumah-rumah penduduk warga Muslim dibakar dan dimusnahkan oleh penduduk yang beragama Kristen. Demikian juga di Kompleks Pemda II dan Perumahan Pemda I terjadi pembakaran, pengrusakan dan penjarahan besar-besaran terhadap rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim.Sedangklan di kota Ambon pusat pertokoan di jalan A.Y. Patty mulai dari toko Dunia Musik bersebelahan dengan Mesjid Al-Fatah hingga lorong toko kaca mata Optical Maluku hingga Bank Lippo dibakar dan dirusak oleh masa Muslim, demikian juga beberapa rumah penduduk di Mardika. Sementara itu pusat pertokoan di sekitar pantai pasar ikan lama (belakang Ambon Plaza) dibakar habis oleh masa Kristen.Kerusuhan akhirnya berlanjut di wilayah-wilayah lain seperti di Galala dan Hative Kecil, Lata, Lateri dan Passo hingga Desa Waai, bahkan di dalam kota Ambon masa Muslim yang datang dari Waihaong sempat menyerang dan membakar Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Maluku, Kompleks Dok Wayame dan kapal yang ada di dalam kompleks tersebut serta rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Dalam kerusuhan ini seperti ada yang memberi komando, terjadi akumulasi masa secara besar-besaran seperti yang terjadi di Desa Poka, Rumahtiga dan Kota Jawa. Masa Islam dari Jasirah Leihitu sempat menyebrang gunung dan ikut bergabung dengan masa Islam di Poka, Taeno (Rumahtiga) dan Kota Jawa untuk menyerang warga Kristen. Demikian juga masa dari kota Ambon yang sempat bergabung dengan masa Desa Poka dan Desa Rumahtiga yang beragama Kristen untuk menghadapi masa Muslim.
Sayangnya aparat keamanan tidak bersikap jujur dan adil. Di Desa Poka misalnya aparat keamanan mencoba menahan warga Kristen yang ingin mempertahankan diri, sementara mereka membiarkan masa Muslim merusak, membakar dan menjarah rumah-rumah penduduk. Demikian juga di Tanah Lapang Kecil dari lantai atas Gedung Telkom aparat keamanan menembak masa Kristen di sekitar pasa kaget Batu Gantung (depan Sekretariat GMKI), malah memimpin permbakaran rumah, gedung pemerintah dan kompleks Dok Wayame di Tanah Lapang Kecil. Dalam peristiwa kerusuhan kali ini ratusan bom dan senjata rakitan, juga alat tajam lainnya telah dipergunakan untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk dan membunuh serta melukai ratusan penduduk.

Sumber: http://martohaprpm.blogspot.co.id/2012/11/konflik-yang-pernah-terjadi-di-indonesia.html




2.5.3 MENKOPOLHUKAM SEBUT KENDALA RUU TERORIS TELAH DIATASI


Jakarta, Aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, mengatakan kendala yang dihadapi dalam pembahasan RUU Terorisme telah diatasi, sehingga memungkinkan untuk segera disahkan.
“Kendala tentang Revisi Undang-Undang Terorisme sudah kita sepakati dan selesaikan bersama, sehingga dalam waktu singkat revisi itu mudah-mudahan dapat segera kita undangkan,” ujar Wiranto di rumah dinas menteri yang berada di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, Senin (14/5).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada dua poin dalam RUU Terorisme yang belum disepakati, yakni soal definisi terorisme, serta peran TNI dalam menghadapi teroris.
Namun, Wiranto kembali menegaskan bahwa persoalan tersebut telah menemui titik temu.
Menurut dia, kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempercepat revisi undang-undang itu, merupakan tindak lanjut dari permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar payung hukum tentang terorisme tersebut segera dirampungkan.
“Ini makanya kami hadirkan pihak-pihak dari partai politik yang juga mewakili fraksi di DPR,” kata Menko Polhukam.
Mantan Panglima TNI itu menuturkan pertemuannya dengan sejumlah petinggi partai tersebut juga menyepakati bahwa penyelesaian undang-undang lebih dibutuhkan, daripada mendorong pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Menko Polhukam Wiranto mengadakan pertemuan dengan sejumlah sekretaris jenderal partai politik pendukung pemerintah di rumah dinas menteri yang berada di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, Senin.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Sekjen PSI Raja Juli Antoni, Sekjen PPP Arsul Sani, dan Sekjen PKB Abdul Kadir Karding.

2.5.4 GADUH 'PARTAI SETAN' AMIEN RAIS DAN WAJAH POLITIK DESTRUKTIF

Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah politik Indonesia mengarah pada kecenderungan yang bersifat destruktif. Dalam situasi seperti ini, pernyataan kontroversial dari elite politik, jika tak dikelola secara bijak, bukan hanya berpotensi menimbulkan kegaduhan di level elite, melainkan juga di akar rumput yang risiko terburuknya bisa memicu konflik sosial.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menyampaikan hal itu menanggapi tausiah politik Amien Rais soal 'Partai Allah' dan 'Partai Setan', pada Jumat pekan lalu di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Ubed menyebut sejumlah hal yang membuat politik Indonesia mengarah pada bentuk yang destruktif. Pertama karena tidak ada kedalaman wacana dari pernyataan-pernyataan para elite.
"Tidak ada kedalaman ontologis dalam bahasa saya. Elite hanya menyampaikan sesuatu secara parsial. Tidak menyeluruh. Terkadang dengan logika melompat," kata Ubed kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/4) pagi.

Lihat juga:
Amien Rais dalam tausiahnya pekan lalu membagi partai-partai politik di Indonesia jadi dua kutub yakni partai setan dan partai Allah.

"Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan," ujar Amien.

"Orang-orang yang anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai setan. Ketahuilah partai setan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya... Tapi di tempat lain, orang yang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya hizbullah, Partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan," imbuh dia.

Ubed tak menafikan klarifikasi dari Partai Amanat Nasional terkait pernyataan Amien Rais.

Dalam klarifikasi itu PAN menyatakan dikotomi yang disampaikan Amien tak merujuk langsung pada partai-partai di Indonesia. Selain itu, PAN menyebut pernyataan Amien Rais merujuk pada kitab suci Alquran.
Ubed menuturkan klarifikasi itu tak cukup meredam kegaduhan politik karena publik dan elite politik lebih dulu merespons pernyataan Amien Rais seturut tafsiran mereka masing-masing.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai pernyataan Amien tentang Partai Setan dan Partai Allah sebagai upaya menjelaskan perbedaan antara kelompok pemerintah dan oposisi. 

Lihat juga:
Dalam sistem demokrasi, lanjut dia, pembedaan oposisi dan pemerintah adalah wajar. Namun Siti tak setuju jika pembedaan itu diungkapkan lewat bahasa keagamaan seperti diucapkan Amien.

"(Pernyataan Amien) Ini menggelikan. Enggak perlu lah nama-nama yang kita agungkan itu dimainkan. Tuhan menciptakan manusia, setan, iblis, dan mahluk lain. Tapi tuhan tak pernah membuat partai," tutur Siti.

Alih-alih memperkuat demokrasi, Siti menyebut pernyataan Amien justru bisa menghambat demokratisasi. Siti pun meminta para elite politik menahan diri menimpali pernyataan Amien agar tidak memperkeruh suasana.

Ubed sendiri lebih longgar menyikapi pernyataan politik dalam bahasa keagamaan. Ia tak keberatan dengan hal itu selama dibarengi dengan penjelasan yang utuh kepada publik.

Penjelasan utuh ini untuk mencegah liarnya penafsiran atas pernyataan-pernyataan kontroversial. Dalam kasus Amien, kata Ubed, kegaduhan tetap terjadi karena cepatnya respons publik dan elite.

Lihat juga:
Respons yang cepat ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Namun di sisi lain, perkembangan teknologi dan informasi itu tak dibarengi dengan tingkat literasi yang memadai, khususnya dari kalangan masyarakat.

Ubed menuturkan rendahnya tingkat literasi di tengah kemajuan pesat teknologi informasi, menjadi faktor lain yang mempengaruhi politik Indonesia berjalan ke arah yang destruktif.

"Padahal dalam Alquran itu penjelasan soal Partai Allah dan Partai Setan ini panjang. Ini yang tidak disampaikan secara utuh kepada publik yang tingkat literasinya rendah," ujar dia.

"Karena tidak disampaikan utuh dan direspons cepat, yang muncul hanya kegaduhan," tuturnya.

Hal serupa, menurut Ubed, juga terjadi pada kasus pernyataan Prabowo Subianto soal Indonesia 2030.

Prabowo, kata dia, seharusnya memberi penjelasan yang utuh pernyataannya tentang Indonesia 2030. Ketua Umum Gerindra itu juga harus memberi tahu konteks dan literatur yang menjadi rujukannya agar publik mendapat pemahaman yang memadai. 

Lihat juga:
Ubed meyakini pernyataan-pernyataan kontroversial seperti terlontar dari Amien Rais dan Prabowo akan terus muncul hingga pemilihan presiden 2019 mendatang.

Ia menyarankan para elite untuk duduk bersama berbicara soal upaya mencegah ketegangan di akar rumput menjelang dan selama tahun politik. Perlu ada kematangan politik dari para elite.

Senada dengan Ubed, Siti pun menyarankan para elite berusaha membangun demokrasi yang bermanfaat.

Saran ini berlaku tak hanya untuk kelompok oposisi. Sebab, menurut Siti, manuver politik Amien pekan lalu juga tak lepas dari apa yang sedang diperlihatkan oleh pemerintahan Joko Widodo.

Siti menyebut kubu Jokowi selaku petahana, dalam beberapa kesempatan telah aktif melakukan kampanye politik jelang Pilpres 2019. Itu dilakukan baik oleh elite partai pendukung Jokowi hingga barisan relawan. 

2.5.5 RICUH, SUDRAJAT-SYAIKHU KELUARKAN KAUS #2019GANTIPRESIDEN


Jakarta, CNN Indonesia -- Pasangan nomor urut tiga Sudrajat-Ahmad Syaikhu menyampaikan ucapan penutup dalam debat kedua Pilgub Jawa Barat. Dalam pernyataan penutup itu, Sudrajat menyebut jika dirinya menang maka 2019 akan ganti Presiden.

"2019 kita akan ganti Presiden, Asyik menang," kata Sudrajat dalam pernyataan itu.

Tak hanya itu, Syaikhu juga membawa kaos bertuliskan #2019Ganti Presiden. Sontak keramaian pun terjadi pasca debat berlangsung. Sebagian penonton memprotes pernyataan pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu.



Pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan menenangkan pendukungnya, demikian pula pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.

Lihat juga:

Deddy sempat meminta moderator agar dirinya tak memberikan pernyataan penutup karena keriuhan di kursi penonton.

Hasanuddin menuturkan pendukungnya agar tenang. "Kita belum masuk pada ranah Pilpres, ada aturannya. Biar ditegakkan Ketua KPU nanti," kata dia.

Ketua KPUD Jabar Yayat Supriatna menuturkan jika ada persoalan, maka akan diselesaikan di luar forum debat tersebut. "Kita punya Baswaslu nanti bisa kita selesaikan dengan baik," kata Yayat mencoba menenangkan penonton yang ribut akibat pernyataan Sudrajat-Syaikhu soal ganti Presiden.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514222339-32-298200/ricuh-sudrajat-syaikhu-keluarkan-kaus-2019gantipresiden










BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarakan dari pembahasan di atas bahwa kam menyimpulkan Konflik politik adalah konflik yang bersnagkutan dengan Negara atau pemerintahan otoritas politik dan kebijakan. Ada sejumlah politik yang dari sifatnya berdampak politik karena langsung melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Termasuk konflik antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dkuasai pemerintah, atau kegiatan kelompok masyarakat yang didukung dengan sejumlah golongan untuk melakukan kudeta atas pemerintahan yang berkuasa.
Pada dasarnya konilik politik disebabkan oleh dua hal. Konflik poltik itu  mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal.
Konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe, kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tak mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan. Pemerintah, pers dan forum-forum terbuka yang Iain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu mérupakan contoh konflik positif. Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem poiitik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara non-konstitusional, sepérti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi. Katcgori ini mengundung kelemahan. Apabila mayoritas memandang lembaga dan struktur yang ada tidak mencerminkan kepentingan umum, konflik  yang disalurkan melalui mekanisme politik justru dipandang sebagai konflik yang negatif. Sebaliknya, tindakan  yang menentang sistem yang tidak mencerminkan kepentingan umum dipandang sebagai konflik yang positif.
3.2 SARAN
Dalam usaha untuk menimalisir terjadinya konflik maka konflik setidaknya dapat di minimalisir, konflik tidak dapat di hilangkan bahkan setiap hari mesti ada konflik apalagi konflik politik setiap hari ada bahkan sewaktu waktu bisa terjadi. Maka hal ini masyarakat harus melakukan kegiatan dan mendinginkan suasana guna untuk memperkecil kemungkinan konflik yang terjadi lebih lebih itu konflik politik, masyarakat dan pemerintah harus solid, bersinergi dalam kehidupan bernegara dan bangsa , tugas pemerintah untuk mengharmoniskan antara rakyat pemerintah dan instansi swasta yang lainnya, maka daripada itu konflik yang sering berkecamuk di indonesia harus.segara di selesaikan, jika tak kunjung di selesaikan akan terjadi benturan yang lebih keras serta kesalahpahaman. Sebagai masyarakat indonesia serta pemerintah upaya untuk menyelesaikannya dengan secara konstitusional.


DAFTAR PUSTAKA

Elly M. Setiadi dan dkk, Pengantar Sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:Teori, Aplikasi, dan pemecahannya, Bandung, Kencana Prenadamedia Group, 2010.
Surbakti Ramlan, Cara Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT Gransindo, 2010
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180416073124-32-291032/gaduh-partai-setan-amien-rais-dan-wajah-politik-destruktif



[1] Elly M. Setiadi dan dkk, Pengantar Sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:Teori, Aplikasi, dan pemecahannya, Bandung, Kencana Prenadamedia Group, 2010, hlm 364.
[2] Rahl Dahrendorf, clas and ClassConflict in industrial Society, Stanford, University Press, Stanford, 1959, hlm 162.
[3]  Elly M. Setiadi dan dkk, Pengantar Sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:Teori, Aplikasi, dan pemecahannya, Bandung, Kencana Prenadamedia Group, 2010, hlm 370.