BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam ilmu sosial di kenal dua
pendekatan yang saling bertentangan untuk memandang masyarakat, kedua
pendekatan ini meliputi pendekatan struktural-fungsional (consensus) dan
pendekatan struktural konflk. Pendekatan konsensus
berasumsi masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi tetapi saling
berhubungan satu sama lain secara fungsional. Kecuali itu. Masyarakat
terintegrasi atas dasar suatu nilai yang di sepakati bersama sehingga
masyarakat selaludalam keadaan keseimbangan dan harmonis, lalu pendekatan konlflik
berasumsi masyarakat mencakup pelbagai bagian yang memiliki kepentingan yang
saling bertentangan, kecuali itu masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan
dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik
kedua pendekatan ini mengandung kebenaran tetapi tidak lengkap.
Konflik
terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan
selalu menuju ke arah kesepakatan, (konsensus), selain itu, masyarakat tak mungkin
terintegrasi secara permanen dengan mengandalkan kekuasaan paksaan dari
kelompok yang dominan. Sebaliknya, masyarakat yang terintegrasi atas dasar
konsensus sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen tanpa adanya
kekuasaan paksaan. Jadi konflik dan konsensus merupakan gejala-gejala yang tak
terelakkan dalam masyarakat.
Istilah
konflik dalam ilmu politik acap kali dikaitkan dengan kekerasan, seperti
kerusuhan, kudeta, terorisme, revolusi, konflik persaingan dan pertentangan
antara individu dan individu, kelompok dan kelompok dengan pemerintah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa Pengertian konflik dan
Toeri Konflik?
b. Apa Pengertian Konflik Politik?
c. Apa Penyebab Konflik Politik?
d. Apa Bentuk Bentuk Konflik Politik?
e. Bagaimana Studi Kasus Konflik Politik
Di Indonesia?
1.3 TUJUAN
a. Untuk Mengetahui Pengertian
konflik dan Toeri Konflik
b. Untuk Mengetahui Pengertian
Konflik Politik
c. Untuk Mengetahui Apa Penyebab
Konflik Politik
d. UntukMengetahui Bentuk Bentuk
Konflik Politik
e. Untuk Mengetahui
Studi Kasus Konflik Politik Di Indonesia
1.4 MANFAAT
a. Untuk pemerintah
Sebagai masukan
dan dorongan agar bisa menimalisir benturan serta konflik yang ada di
masyarakat dan pemerintah
b. Untuk Dosen
Sebagai acuan dan penambahan untuk
media pembelajaran di tingkat lingkungan akademisi.
c. Untuk Mahasiswa
Sebagai model mata kuliah dan
menambah wawasan dan refrensi dan bahan bacaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KONFLIK
Istilah Konflik “secara etimologis
berasal dari Bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang
berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan
sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang
paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
2.1.1 TEORI KONFLIK MARX
Dalam pendekatan ini kita akan
merujuk pada teori sosial yang di kemukakan oleh Karl Marx sebagai landasan
pembahasan sub bab ini. Beberapa pandangan Marx tentang kehidupan sosial yaitu:[1]
1. Masyarakat sebagai arena yang di
dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan
2. Negara di pandang sebagai pihak
yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang
dominan.
3. Paksaan (Coercien) dalam wujud
hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial.,
seperti milik pribadi (property) perbudakan (slavery), capital yang menimbulkan
ketidaksamaan hak dan kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat
karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara
kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik
sosial adalah kesenjangan sosial.
4. Kelas-kelas di anggap sebagai
kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama
lain, sehingga konflik tak terelakkan.
Secara umum pendekatan konflik ini
dapat dibagi menjadi dua, diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx
yang memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada
kepemilikan sarana alat produksi (Property) yaitu kelas borjuis dan proletar.
Kelas borjouis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi sehingg
dalam hal ini adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi. Yang
dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha. Kelas Proletar
adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam
pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya.
Menurut Marx, masyarakat terintegrasi karena adanya struktur kelas dimana kelas
borjuis menggunakan negara dan hukum untuk mendominasi kelas proletar.
2.1.2 TEORI KONFLIK RALF
DAHRENDORF
Sebagaimana di kemukakan oleh Ralf
Dahrendorf bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemikiran
kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan
kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi). Menurut teori ini, masyarakat
terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai
masyarakat banyak. Teori Dahrendorf justru merupakan kritik atas teori Karl
Marx, terutama menyangkut dua hal yaitu:[2]
1. Teori Marx mencampuradukkan antara
teori Sosiologi yang empiris (dapat diuji kebenarannya secara factual) dan
konsep-konsep yang bersifat filosofis yang tidak dapat diverifikasi (diuji)
dengan fakta-fakta. Contoh : Masyarakat tanpa kelas merupakan kehidupan sosial
terakhir yang membentuk kehidupan masyarakat tanpa kelas tidak pernah ada dalam
kehidupan sosial.
2. Kapitalisme berubah bukan melalui
revolusi sosial, akan tetapi melalui proses Transformasi. Dalam proses
transformasi kapitalisme terdapat enam perubahan yang penting yaitu :
a. Pembagian Komposisi Capital,
yaitu timbulnya penggolongan (diferensiasi) kelas borjuis seperti pemilik saham
dan manajer perusahaan. Kelas pemilik saham merupakan kelas pemilik sarana
produksi, sedangkan kelas manajer adalah kelas pengontrol sarana produksi.
Dalam hal ini, kepentingan pemilik saham dan manajer tidak selalu sama.
b. Pembagian Komposisi Buruh. Marx
menganalisis buruh dalam masyarakat industri lebih bersifat homogen, akan
tetapi kenyataan yang ada komposisi buruh adalah heterogen. Heterogenitas buruh
tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu buruh yang tidak
berketrampilan (Unskilled-Labour), dan buruh berketrampilan seni (Semi
Skilled-Labour). Perbedaan tingkat keterampilan ini akan menimbulkan perbedaan
kepentingan pula.
c. Tumbuhnya “Kelas Menengah
Baru” (New Middle Class) yang merupakan bagian dari mata rantai kewenangan
(birokrat) dalam kelas ini baik yang berposisi tinggi maupun rendah sama-sama
melaksanakan kewenangan sehingga posisi mereka secara langsung berkaitan dengan
kelompok dominan dalam masyarakat dan pekerja menduduki posisi di luar heirarki
kewenangan. Kelas kedua dari kelompok ini menduduki posisi yang lebih dekat
dengan pekerja manual.
d. Meningkatnya Mobilitas
Sosial baik secara intergenerasi dan antar generasi. Mobilitas
intergenerasi akan menghilangkan kelas-kelas sosial, sedangkan mobilitas
antargenerasi yang ditandai dengan adanya tingkat akan mengubah konflik ke
kelompok menjadi kompetisi individual. Dengan demikian, maka perjuangan
bersifat kompetisi antar-individu untuk mendapatkan kedudukan terhormat di
dalam kehidupan sosial.
e. Perbaikan Hak-Hak Politik
Warga Negara terutama yang berkaitan dengan jaminan sosial warga negara.
Didalam perbaikan hak-hak politik rakyat ini terdapat kelompok-kelompok atau
asosiasi-asosiasi politik yang menuntut hak-haknya kepada pemegang kekuasaan.
Biasanya tuntutan-tuntutan tersebut berupa tuntutan kesejahteraan, jaminan
keamanan, kepastian hukum, keadilan, dan sebagainya. Biasanya, realitas politik
dalam kondisi tersebut menimbulkan dua kelompok besar; yang satu memberikan
dukungan kepada pemerintah dan yang lain melakukan tuntutan kepada pemerintah
terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan nasib warga negara kepada
negaranya.
f. pelembagaan Konflik Kelas dalam
bentuk pengakuan prosedur arbitrase, diantaranya pengakuan hak-hak buruh untuk
mogok kerja, prosedur penyelesaian perbedaan sebagai sarana untuk mencegah
konflik sosial, dan sebagainya.
2.1.3 TEORI KONFLIK JONATHAN
TURNER
Jonathan Turner merumuskan kembali
teori Konflik dalam tiga pandangan tentang Konflik, yaitu:[3]
1. Tidak ada yang jelas tentang
gejala mana yang termasuk konflik itu (yakni apakah yang termasuk konflik dan
yang bukan konflik), sebab ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut
istilah konflik seperti permusuhan, perang, persaingan, antagonism, tekanan,
pertengkaran, perbedaan, pendapat, kontravensi, kekejaman, revolusi,
perselisihan, dan sebagainya persoalannya adalah istilah manakah yang dimaksud
sebagai konflik di dalam teori konflik itu sendiri.
2. Teori Konflik tampak mengambang
karena tidak menjelaskan unit analisis tentang konflik, apakah konflik tersebut
terjadi antar individu, kelompok, organisasi, kelas-kelas sosial, atau konflik
antarbangsa.
3. Teori Konflik sulit melepaskan
dari teori Fungsional, karena pada dasarnya teori ini merupakan reaksi dari
teori fungsionalis struktural. Keadaan ini membuat teori konflik jauh dari
akarnya, yaitu teori Marxisme.
Berangkat dari pemikiran itulah
Jonathan Turner lalu memusatkan perhatiannya pada konflik sebagai proses dari
peristiwa-peristiwa yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara
dua pihak atau lebih. Ia menjelaskan Sembilan tahap menuju konflik terbuka,
yaitu :
1. sistem sosial terdiri dari
unsur unsur atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Didalam unit-unit atau
kelompok-kelompok itu terdapat ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau
sumber-sumber penghasilan.
3. unit-unit atau kelompok yang
tidak berkuasa atau tidak mendapat bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai
mempertanyakan legitimasi sistem tersebut.
4. Pertanyaan atas legitimasi itu
membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi
kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.
5. Kesadaran itu menyebabkan
mereka secara emosional terpancing untuk marah.
6. Kemarahan tersebut sering kali
meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisasi.
7. Keadaan yang demikian
menyebabkan mereka saling tegang.
8. Ketegangan yang semakin hebat
menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok
yang berkuasa.
9. Akhirnya konflik terbuka bisa
terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan
dalam konflik sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang
bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara objektif atau
kemampuan masing-masing pihak untuk menanggapi, mengatur, dan mengontrol
konflik itu.
Dalam
kesembilan tahap tersebut, Turner merumuskan kembali proses terjadinya konfik
dalam sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada akhirnya konflik yang terbuka
antara kelompok-kelompok yang bertikai sangat beruntung kepada kemampuan
masing-masing pihak untuk mendefinisikan kepentingan mereka secara objektif dan
untuk menangani, mengatur, dan mengontrol kelompok itu.
2.2 PENGERTIAN KONFLIK POLITIK
Konflik politik adalah konflik
yang bersnagkutan dengan Negara atau pemerintahan otoritas politik dan
kebijakan. Ada sejumlah politik yang dari sifatnya berdampak politik karena
langsung melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Termasuk konflik
antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain dalam usaha mendapatkan
dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dkuasai pemerintah, atau kegiatan
kelompok masyarakat yang didukung dengan sejumlah golongan untuk melakukan
kudeta atas pemerintahan yang berkuasa. Konflik merupakan gejala yang
serba-hadir dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu,
salah satu dimensi penting proses politik ialah penyelesaian konflik yang
meiibatkan pemerintah. Proses “penyelesaian” konflik politik yang tak bersifat
kekerasan dibagi meniadi tiga tahap. Adapun ketiga tahap ini meliputi tahap politisasi dan/atau koalisi tahap
pembuatan keputusan, tahap pelaksanan dan integrasi.
Apabila dalam masyarakat terdapat
konflik politik di antara berbagai pihak, dengan segala motivasi yang
mendorongnya, masing-masing pihak akan berupaya merumuskan dan mengajukan
tuntutan pada pemerintahan selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Agar
tuntutan mendapat perhatian dari pemerintah, para kontestan akan berusaha
mengadakan politisasi Artinya, memasyarakatkan
tu
ntutannya melalui berbagai media
komunikasi sehingga meniadi 'isu politik". Dengan kata lain menjadi bahan
pembicaaaan baik di kalangan pengemuka pendapat (opinion leader) maupun di
kalangan pemerintah. Dalam tahap ini, setiap kontestan akan mengadakan
perhitungan mengenai cara yang paling efektif untuk memperuangan tuntutannya, yakni apakah dengan mengadakan
koalisu dengan pihak Iain atau cukup memperjuangkannya sendirian? Hal ini perlu
dipertimbangkan karena untuk memperjuangkan sesuatu tuntutan jelas memerlukan
dana, waktu, keterampilan, strategi, dukungan massa dan sumber-sumber lain yang mungkin hanya
dapat dipenuhi apabila beralokasi dengan kelompok lain yang memilih
kepenting yang sama dengannya atau
bersimpati pada tuntutannya.
2.3 PENYEBAB KONFLIK POLITIK
Pada dasarnya konilik politik disebabkan oleh
dua hal. Konflik poltik itu mencakup
kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal. yang dimaksud dengan
kemajemukan horizontal ialah struktur yang majemuk secara kultural, seperti
suku bangsa,daerah ,agama, dan ras; majemuk secara sosial dalam arti perbedaan
pekerjaan dan profesi, seperti petani,
buruh, pedagang. pengusaha, dan dalam arti perbedaan karakteristik tempat tinggal seperti desa dan kota.
kemajemukam horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing
unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya
darl ancaman kultur lain. Dalam masyarakat yang berdiri demikian lnl, apabila
belum ada konsensus nilal yang menjadi pagangan bersama konllik poltik karena
benturan budaya akan menimbulkan pemng saudara ataupun gerakan separatisme.
Kemajemukan horizontal sosial
dapat menimbulkan konllik sebab
masing-masing kelompok yang berdasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat
tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan.
Kelompok masyarakat yang tinggal di kota, misalnya, menghendaki harga beras dan bahan bakar minyak dikendalikan
oleh pemerintah dan kalau perlu disubsidi oleh pemerintah sedangkan masyarakat
yang tinggal di desa menghendaki agar pemerintah membiarkan harga-harga beras
dan bahan bakar minyak berkembang sesuai dengan mekanisme pasar. Sebaliknya,
pemerintah hanya berperan dalam menciptakan dan menegakkan aturan main yang
adil. Kemajemukan vertikal ialah struktur masyarakat yang terpolarisasikan
menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasan. Kemajemukan vertikal
dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki
atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki
kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi
ketiga sumber pengaruh tersebut jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan yang
pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik politik.
Akan tetapi kenyataan menunjukkan
perbedaan kepentingan karena kemajemukan horizontal dan vertikal tidak dengan
sendirinya menimbulkan politik. Hal mi disebabkan adanya fakta terdapat
sejumlah masyarakat menerima perbedaan-perbedaan tersebut. Perbedaan-perbedaan
masyarakat ini baru menimbulkan konflik apabila kelompok tersebut memperebutkan
sumber yang sama, seperti kekuasaan, kekayaan, kesempatan dan kehormatan.
2.4 BENTUK-BENTUK KONFLIK POLITIK
Konflik politik dikelompokkan menjadi dua
tipe, kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatife. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tak
mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat mekanisme
penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang
dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan
rakyat, pengadilan. Pemerintah, pers dan forum-forum terbuka yang Iain.
Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui
lembaga-lembaga itu mérupakan contoh konflik positif. Sebaliknya, konflik negatif ialah
konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem poiitik yang biasanya disalurkan
melalui cara-cara non-konstitusional, sepérti kudeta,
separatisme, terorisme, dan revolusi. Katcgori ini mengundung kelemahan.
Apabila mayoritas memandang lembaga dan struktur yang ada tidak mencerminkan
kepentingan umum, konflik yang
disalurkan melalui mekanisme politik justru
dipandang sebagai konflik yang negatif. Sebaliknya, tindakan yang menentang sistem yang tidak mencerminkan
kepentingan umum dipandang sebagai konflik yang positif.
Berdasarkan uraian di atas
disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik bersifat
positif atau negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat
dalam konflik, terutama pada sikap masyarakat umum terhadap sistem politik yang
berlaku. Dalam hal ini, yang menjadi patokan untuk menetukan suatu konflik bersifat
positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi sistem politik yang ada. Hal ini
dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap sistem politik yang
berlaku.
Sehubungan dengan konflik positif
dan negatif, sesungguhnya masyarakat dapat dikelompokan secara umum menjadi dua
tipe. Pertama, masyarakat yang mapan. Artinya, masyarakat yang memiliki dan
mendaya gunakan struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Konflik yang dianggap positif dalam
masyarakat ini berupa konflik yang disalurkan melalui cara-cara di luar
struktur. Konflik yang negatif berupa tindakan yang menentang struktur yang
ada, dan yang disalurkan melalui cara-cara diluar struktur kelembagaan yang
ada. Kedua, masyarakat yang belum mapan. Artinya, masyarakat yang belum
memiliki struktur kelernbagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh
mayarakat. Biasanya struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi, sélain
tidak, didukung oleh sebagian masyarakat juga belum berfungsi sebagaimana
mestinya. Konflik yang dianggap positif dalam masyarakat ini acap kali justru
konflik yang disalurkan melalui cara-cara di luar struktur kelembagaan yang ada
karena dianggap lebih efektif. Kategorisasi itu tentu lebih bersifat analitis
(lebih kurang) daripada pengelompokan secara hitam putih. Sebab dalam
kenyataan, konflik dan dukungan masyarakat terhadap sistem yang ada (struktur
kelembagaan] tidak sesederhana itu.
2.5 KONFLIK POLITIK DI INDONESIA
2.5.1 KONFLIK ACEH
Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang. Akar
konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang
terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik
ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Aceh
adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tahun
1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat.
Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda,
serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai
air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan
dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia Bahkan, dua bulan setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi
berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno. Maklumat ini diantaranya
ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis
pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya
lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916,
Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam
formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah
di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif
tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan
konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi
eksistensi negara Republik Indonesia
Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh
Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur
Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah
Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk
pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas
PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak
memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam
konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari
provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di
kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang
amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud
Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah
diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang
dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik
nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah
Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan
pendidikan.
Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga
muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai
komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas
tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa
kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam
mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal
Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh.
Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974
pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh.
Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh
sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama. Untuk
menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit
lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat.
Selain problem
identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi.
Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong
eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat
eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan
90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas
ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat
terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG
Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang
kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993
menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu
2275 desa.
Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam
berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para
pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional.
Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh
atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam
Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai
menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir
dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah.
Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di
Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti
Jawa. Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor
pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang
direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih
tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke
dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM,
justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat
terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka.
Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang
state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi
konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak
menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat.
Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang
mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah mengambil
momentum bencana Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali membuka dialog
perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan
Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili
Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku
Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua
dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari
Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur
semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan
beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Selain itu,
pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1
Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna
menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak
menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri.
Di bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak
memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga
berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank
Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari c
adangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di
wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa
mendatang.
Dalam masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi
3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan
seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri setelah penandatangan Nota
Kesepahaman. GAM juga sepakat menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005
dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap
berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang
tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah
daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh
warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah
dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah
hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini.
2.5.2 KERUSUHAN ETNIS DI AMBON TAHUN 1999
Konflik dan pertikaian yang melanda
masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi
kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan
kehidupan bermasyarakat. Hingga 2 September 1991 setidaknya telah tercatat
1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak
765 rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu
100.000 ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000
orang menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan
sekitarnya. Transportasi, khususnya transportasi udara,
terhenti; harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak dan persediaan makanan
menipis; kegiatan pendidikan terhenti.
Tidak ada yang tahu bahwa orang ambon sebagai daerah yang
sangat sentral peranannya dalam masa kolonial belanda dulu, dimana daerah ini
banyak digunakan sebagai agen tentara oleh kolonial. Sehingga tidak heran masih
banyak orang ambon yang masih tidak ingin berintegrasi dalam Indonesia karena
mereka sudah terlalu “enak” di ayomi oleh bangsa Belanda.
Pada saat sekarang bangsa Ambon banyak memeluk agama
Islam dan Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka
umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan
orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai
pegawai negeri dan tentara.
Sehingga tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak
lain berawal dari sentimen agama yang diprovokasi oleh masing-masing agama,
mengingat kecenderungan di masing-masing agama sama banyak. Konflik
pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran personal antara seorang sopir
angkutan umum dan seorang pemuda yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat
Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di masyarakat.
Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok
agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Seorang saksi korban bernama Amir
(bukan nama sebenarnya), warga Muslim di kampung Batu Merah Dalam, menyatakan
bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari 1999 dia tak memperhatikan sama sekali apa
yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran kecil-kecilan antara warga Muslim
dan Kristen sudah begitu biasa. Tapi pada
pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang
jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar. Amir mengatakan dia tinggal
di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia hampir mengenal semua wajah
warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang
memimpin rombongan besar massa penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang
Batu Merah. Sekitar lima orang di muka rombongan itu mengenakan kain putih pada
lengan mereka. Amir lalu menelpon ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab
bahwa mereka sudah menyerahkan persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri
mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari libur lebaran,
tidak ada orang masuk kerja. Amir mengatakan, di antara rombongan massa itu dia
melihat sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya
meletuskan tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus
maju.
Rombongan massa berhenti di depan bengkel mobil yang
terletak di bagian bawah dari rumahnya. Mereka rupanya menemukan kain-kain lap
kotor berlumuran minyak. Mereka menyulut kain-kain itu, lalu dengan menggunakan
parang-parang panjang, mereka menyulut bagian-bagian lain dari bengkel sehingga
api masuk ke dalam rumah. Rumah Amir juga dibakar sampai rata dengan tanah,
seperti semua rumah yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu juga berteriak
bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun sebetulnya masjid itu belum
tersentuh sama sekali.
Kerusuhan Ambon priode kedua yang
diawali dengan pecahnya kerusuhan di pulau Saparua pada hari Kamis, tanggal 15
Juli 1999 menurut hasil investigasi sementara diakibatkan oleh dendam dan
rekayasa pihak-pihak tertentu.
Setelah pecahnya kerusuhan di
Desa Siri Sori Islam, Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan juga kota Saparua pada
tanggal 15 dan 16 Juli 1999, maka pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1999 mulai
terjadi kegiatan lempar-melempar batu antara pihak Muslim dan pihak Kristen di
Desa Poka dan daerah sekitarnya Gang Diponegoro Kota Ambon.
Pristiwa saling lempar-melempar
batu di sekitar Perumnas Poka tersebut kemudian dilanjutkan dengan pembakaran
atas rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim di kompleks Perumnas Poka yang
kemudian dibalas dengan pembakaran rumah-rumah termasuk rumah-rumah Dosen
Muslim di Desa Poka dan Kompleks Universitas Pattimura oleh warga Kristen.
Bersamaan dengan itu warga
Kristen sekitar Kudamati melakukan aksi pembalasan pembakaran dan pembantaian
terhadap warga Muslim suku Buton di daerah Wara (Kramat Jaya) yang berada di
sekitar Kompleks TVRI Gunung Nona dan perkampungan warga Muslim Banda Eli di
OSM Ambon yang mengakibatkan beberapa buah rumah terbakar dan puluhan korban
meninggal dunia.
Dari peristiwa ini kerusuhan
mulai melebar ke mana-mana hampir di seantero Kotamadya Ambon dan daerah-daerah
pinggirannya. Dari hasil investigasi,
ternyata mulai hari Selasa, tanggal 27 Juli 1999 kerusuhan pecah antara lain di
Desa Rumahtiga (tetangga Desa Poka), dimana hampir sebagian besar rumah-rumah
penduduk warga Muslim dibakar dan dimusnahkan oleh penduduk yang beragama
Kristen. Demikian juga di Kompleks Pemda II dan Perumahan Pemda I terjadi
pembakaran, pengrusakan dan penjarahan besar-besaran terhadap rumah-rumah warga
Kristen oleh warga Muslim.Sedangklan di kota Ambon pusat pertokoan di jalan
A.Y. Patty mulai dari toko Dunia Musik bersebelahan dengan Mesjid Al-Fatah
hingga lorong toko kaca mata Optical Maluku hingga Bank Lippo dibakar dan
dirusak oleh masa Muslim, demikian juga beberapa rumah penduduk di Mardika.
Sementara itu pusat pertokoan di sekitar pantai pasar ikan lama (belakang Ambon
Plaza) dibakar habis oleh masa Kristen.Kerusuhan akhirnya berlanjut di
wilayah-wilayah lain seperti di Galala dan Hative Kecil, Lata, Lateri dan Passo
hingga Desa Waai, bahkan di dalam kota Ambon masa Muslim yang datang dari
Waihaong sempat menyerang dan membakar Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
Maluku, Kompleks Dok Wayame dan kapal yang ada di dalam kompleks tersebut serta
rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Dalam kerusuhan ini seperti ada
yang memberi komando, terjadi akumulasi masa secara besar-besaran seperti yang
terjadi di Desa Poka, Rumahtiga dan Kota Jawa. Masa Islam dari Jasirah Leihitu
sempat menyebrang gunung dan ikut bergabung dengan masa Islam di Poka, Taeno
(Rumahtiga) dan Kota Jawa untuk menyerang warga Kristen. Demikian juga masa
dari kota Ambon yang sempat bergabung dengan masa Desa Poka dan Desa Rumahtiga
yang beragama Kristen untuk menghadapi masa Muslim.
Sayangnya aparat keamanan tidak
bersikap jujur dan adil. Di Desa Poka misalnya aparat keamanan mencoba menahan
warga Kristen yang ingin mempertahankan diri, sementara mereka membiarkan masa
Muslim merusak, membakar dan menjarah rumah-rumah penduduk. Demikian juga di
Tanah Lapang Kecil dari lantai atas Gedung Telkom aparat keamanan menembak masa
Kristen di sekitar pasa kaget Batu Gantung (depan Sekretariat GMKI), malah
memimpin permbakaran rumah, gedung pemerintah dan kompleks Dok Wayame di Tanah
Lapang Kecil. Dalam peristiwa kerusuhan
kali ini ratusan bom dan senjata rakitan, juga alat tajam lainnya telah
dipergunakan untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk dan membunuh serta
melukai ratusan penduduk.
Sumber:
http://martohaprpm.blogspot.co.id/2012/11/konflik-yang-pernah-terjadi-di-indonesia.html
2.5.3 MENKOPOLHUKAM SEBUT KENDALA RUU TERORIS TELAH DIATASI
Jakarta, Aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan Wiranto, mengatakan kendala yang dihadapi dalam pembahasan RUU
Terorisme telah diatasi, sehingga memungkinkan untuk segera disahkan.
“Kendala tentang Revisi Undang-Undang
Terorisme sudah kita sepakati dan selesaikan bersama, sehingga dalam waktu
singkat revisi itu mudah-mudahan dapat segera kita undangkan,” ujar Wiranto di
rumah dinas menteri yang berada di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, Senin
(14/5).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada dua
poin dalam RUU Terorisme yang belum disepakati, yakni soal definisi terorisme,
serta peran TNI dalam menghadapi teroris.
Namun, Wiranto kembali menegaskan bahwa
persoalan tersebut telah menemui titik temu.
Menurut dia, kesepakatan antara pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempercepat revisi undang-undang itu,
merupakan tindak lanjut dari permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan
agar payung hukum tentang terorisme tersebut segera dirampungkan.
“Ini makanya kami hadirkan pihak-pihak dari
partai politik yang juga mewakili fraksi di DPR,” kata Menko Polhukam.
Mantan Panglima TNI itu menuturkan
pertemuannya dengan sejumlah petinggi partai tersebut juga menyepakati bahwa
penyelesaian undang-undang lebih dibutuhkan, daripada mendorong pembentukan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Menko Polhukam Wiranto mengadakan pertemuan
dengan sejumlah sekretaris jenderal partai politik pendukung pemerintah di
rumah dinas menteri yang berada di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, Senin.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Sekjen PDIP
Hasto Kristiyanto, Sekjen PSI Raja Juli Antoni, Sekjen PPP Arsul Sani, dan
Sekjen PKB Abdul Kadir Karding.
2.5.4 GADUH 'PARTAI
SETAN' AMIEN RAIS DAN WAJAH POLITIK DESTRUKTIF
Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah politik
Indonesia mengarah pada kecenderungan yang bersifat destruktif. Dalam situasi
seperti ini, pernyataan kontroversial dari elite politik, jika tak dikelola
secara bijak, bukan hanya berpotensi menimbulkan kegaduhan di level elite, melainkan
juga di akar rumput yang risiko terburuknya bisa memicu konflik sosial.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menyampaikan hal itu menanggapi tausiah politik Amien Rais soal 'Partai Allah' dan 'Partai Setan', pada Jumat pekan lalu di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Ubed menyebut sejumlah hal yang membuat politik Indonesia mengarah pada bentuk yang destruktif. Pertama karena tidak ada kedalaman wacana dari pernyataan-pernyataan para elite.
"Tidak ada kedalaman ontologis dalam bahasa saya. Elite hanya menyampaikan sesuatu secara parsial. Tidak menyeluruh. Terkadang dengan logika melompat," kata Ubed kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/4) pagi.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menyampaikan hal itu menanggapi tausiah politik Amien Rais soal 'Partai Allah' dan 'Partai Setan', pada Jumat pekan lalu di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Ubed menyebut sejumlah hal yang membuat politik Indonesia mengarah pada bentuk yang destruktif. Pertama karena tidak ada kedalaman wacana dari pernyataan-pernyataan para elite.
"Tidak ada kedalaman ontologis dalam bahasa saya. Elite hanya menyampaikan sesuatu secara parsial. Tidak menyeluruh. Terkadang dengan logika melompat," kata Ubed kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/4) pagi.
Lihat juga:
|
Amien Rais dalam tausiahnya pekan lalu
membagi partai-partai politik di Indonesia jadi dua kutub yakni partai
setan dan partai Allah.
"Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan," ujar Amien.
"Orang-orang yang anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai setan. Ketahuilah partai setan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya... Tapi di tempat lain, orang yang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya hizbullah, Partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan," imbuh dia.
Ubed tak menafikan klarifikasi dari Partai Amanat Nasional terkait pernyataan Amien Rais.
Dalam klarifikasi itu PAN menyatakan dikotomi yang disampaikan Amien tak merujuk langsung pada partai-partai di Indonesia. Selain itu, PAN menyebut pernyataan Amien Rais merujuk pada kitab suci Alquran.
Ubed menuturkan klarifikasi itu tak cukup meredam kegaduhan politik karena publik dan elite politik lebih dulu merespons pernyataan Amien Rais seturut tafsiran mereka masing-masing.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai pernyataan Amien tentang Partai Setan dan Partai Allah sebagai upaya menjelaskan perbedaan antara kelompok pemerintah dan oposisi.
"Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan," ujar Amien.
"Orang-orang yang anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai setan. Ketahuilah partai setan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya... Tapi di tempat lain, orang yang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya hizbullah, Partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan," imbuh dia.
Ubed tak menafikan klarifikasi dari Partai Amanat Nasional terkait pernyataan Amien Rais.
Dalam klarifikasi itu PAN menyatakan dikotomi yang disampaikan Amien tak merujuk langsung pada partai-partai di Indonesia. Selain itu, PAN menyebut pernyataan Amien Rais merujuk pada kitab suci Alquran.
Ubed menuturkan klarifikasi itu tak cukup meredam kegaduhan politik karena publik dan elite politik lebih dulu merespons pernyataan Amien Rais seturut tafsiran mereka masing-masing.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai pernyataan Amien tentang Partai Setan dan Partai Allah sebagai upaya menjelaskan perbedaan antara kelompok pemerintah dan oposisi.
Lihat juga:
|
Dalam sistem demokrasi, lanjut dia, pembedaan
oposisi dan pemerintah adalah wajar. Namun Siti tak setuju jika pembedaan itu
diungkapkan lewat bahasa keagamaan seperti diucapkan Amien.
"(Pernyataan Amien) Ini menggelikan. Enggak perlu lah nama-nama yang kita agungkan itu dimainkan. Tuhan menciptakan manusia, setan, iblis, dan mahluk lain. Tapi tuhan tak pernah membuat partai," tutur Siti.
Alih-alih memperkuat demokrasi, Siti menyebut pernyataan Amien justru bisa menghambat demokratisasi. Siti pun meminta para elite politik menahan diri menimpali pernyataan Amien agar tidak memperkeruh suasana.
Ubed sendiri lebih longgar menyikapi pernyataan politik dalam bahasa keagamaan. Ia tak keberatan dengan hal itu selama dibarengi dengan penjelasan yang utuh kepada publik.
Penjelasan utuh ini untuk mencegah liarnya penafsiran atas pernyataan-pernyataan kontroversial. Dalam kasus Amien, kata Ubed, kegaduhan tetap terjadi karena cepatnya respons publik dan elite.
"(Pernyataan Amien) Ini menggelikan. Enggak perlu lah nama-nama yang kita agungkan itu dimainkan. Tuhan menciptakan manusia, setan, iblis, dan mahluk lain. Tapi tuhan tak pernah membuat partai," tutur Siti.
Alih-alih memperkuat demokrasi, Siti menyebut pernyataan Amien justru bisa menghambat demokratisasi. Siti pun meminta para elite politik menahan diri menimpali pernyataan Amien agar tidak memperkeruh suasana.
Ubed sendiri lebih longgar menyikapi pernyataan politik dalam bahasa keagamaan. Ia tak keberatan dengan hal itu selama dibarengi dengan penjelasan yang utuh kepada publik.
Penjelasan utuh ini untuk mencegah liarnya penafsiran atas pernyataan-pernyataan kontroversial. Dalam kasus Amien, kata Ubed, kegaduhan tetap terjadi karena cepatnya respons publik dan elite.
Lihat juga:
|
Respons yang cepat ini difasilitasi oleh
perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Namun di sisi
lain, perkembangan teknologi dan informasi itu tak dibarengi dengan
tingkat literasi yang memadai, khususnya dari kalangan masyarakat.
Ubed menuturkan rendahnya tingkat literasi di tengah kemajuan pesat teknologi informasi, menjadi faktor lain yang mempengaruhi politik Indonesia berjalan ke arah yang destruktif.
"Padahal dalam Alquran itu penjelasan soal Partai Allah dan Partai Setan ini panjang. Ini yang tidak disampaikan secara utuh kepada publik yang tingkat literasinya rendah," ujar dia.
"Karena tidak disampaikan utuh dan direspons cepat, yang muncul hanya kegaduhan," tuturnya.
Hal serupa, menurut Ubed, juga terjadi pada kasus pernyataan Prabowo Subianto soal Indonesia 2030.
Prabowo, kata dia, seharusnya memberi penjelasan yang utuh pernyataannya tentang Indonesia 2030. Ketua Umum Gerindra itu juga harus memberi tahu konteks dan literatur yang menjadi rujukannya agar publik mendapat pemahaman yang memadai.
Ubed menuturkan rendahnya tingkat literasi di tengah kemajuan pesat teknologi informasi, menjadi faktor lain yang mempengaruhi politik Indonesia berjalan ke arah yang destruktif.
"Padahal dalam Alquran itu penjelasan soal Partai Allah dan Partai Setan ini panjang. Ini yang tidak disampaikan secara utuh kepada publik yang tingkat literasinya rendah," ujar dia.
"Karena tidak disampaikan utuh dan direspons cepat, yang muncul hanya kegaduhan," tuturnya.
Hal serupa, menurut Ubed, juga terjadi pada kasus pernyataan Prabowo Subianto soal Indonesia 2030.
Prabowo, kata dia, seharusnya memberi penjelasan yang utuh pernyataannya tentang Indonesia 2030. Ketua Umum Gerindra itu juga harus memberi tahu konteks dan literatur yang menjadi rujukannya agar publik mendapat pemahaman yang memadai.
Lihat juga:
|
Ubed meyakini pernyataan-pernyataan
kontroversial seperti terlontar dari Amien Rais dan Prabowo akan terus muncul
hingga pemilihan presiden 2019 mendatang.
Ia menyarankan para elite untuk duduk bersama berbicara soal upaya mencegah ketegangan di akar rumput menjelang dan selama tahun politik. Perlu ada kematangan politik dari para elite.
Senada dengan Ubed, Siti pun menyarankan para elite berusaha membangun demokrasi yang bermanfaat.
Saran ini berlaku tak hanya untuk kelompok oposisi. Sebab, menurut Siti, manuver politik Amien pekan lalu juga tak lepas dari apa yang sedang diperlihatkan oleh pemerintahan Joko Widodo.
Siti menyebut kubu Jokowi selaku petahana, dalam beberapa kesempatan telah aktif melakukan kampanye politik jelang Pilpres 2019. Itu dilakukan baik oleh elite partai pendukung Jokowi hingga barisan relawan.
Ia menyarankan para elite untuk duduk bersama berbicara soal upaya mencegah ketegangan di akar rumput menjelang dan selama tahun politik. Perlu ada kematangan politik dari para elite.
Senada dengan Ubed, Siti pun menyarankan para elite berusaha membangun demokrasi yang bermanfaat.
Saran ini berlaku tak hanya untuk kelompok oposisi. Sebab, menurut Siti, manuver politik Amien pekan lalu juga tak lepas dari apa yang sedang diperlihatkan oleh pemerintahan Joko Widodo.
Siti menyebut kubu Jokowi selaku petahana, dalam beberapa kesempatan telah aktif melakukan kampanye politik jelang Pilpres 2019. Itu dilakukan baik oleh elite partai pendukung Jokowi hingga barisan relawan.
2.5.5 RICUH,
SUDRAJAT-SYAIKHU KELUARKAN KAUS #2019GANTIPRESIDEN
Jakarta, CNN Indonesia -- Pasangan
nomor urut tiga Sudrajat-Ahmad Syaikhu menyampaikan ucapan penutup dalam debat
kedua Pilgub Jawa Barat. Dalam pernyataan penutup itu, Sudrajat menyebut jika
dirinya menang maka 2019 akan ganti Presiden.
"2019 kita akan ganti Presiden, Asyik menang," kata Sudrajat dalam pernyataan itu.
Tak hanya itu, Syaikhu juga membawa kaos bertuliskan #2019Ganti Presiden. Sontak keramaian pun terjadi pasca debat berlangsung. Sebagian penonton memprotes pernyataan pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu.
"2019 kita akan ganti Presiden, Asyik menang," kata Sudrajat dalam pernyataan itu.
Tak hanya itu, Syaikhu juga membawa kaos bertuliskan #2019Ganti Presiden. Sontak keramaian pun terjadi pasca debat berlangsung. Sebagian penonton memprotes pernyataan pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu.
Pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan menenangkan pendukungnya, demikian pula pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Lihat juga:
|
Deddy sempat meminta moderator agar dirinya tak memberikan pernyataan penutup karena keriuhan di kursi penonton.
Hasanuddin menuturkan pendukungnya agar tenang. "Kita belum masuk pada ranah Pilpres, ada aturannya. Biar ditegakkan Ketua KPU nanti," kata dia.
Ketua KPUD Jabar Yayat Supriatna menuturkan jika ada persoalan, maka akan diselesaikan di luar forum debat tersebut. "Kita punya Baswaslu nanti bisa kita selesaikan dengan baik," kata Yayat mencoba menenangkan penonton yang ribut akibat pernyataan Sudrajat-Syaikhu soal ganti Presiden.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514222339-32-298200/ricuh-sudrajat-syaikhu-keluarkan-kaus-2019gantipresiden
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarakan
dari pembahasan di atas bahwa kam menyimpulkan Konflik politik adalah konflik yang
bersnagkutan dengan Negara atau pemerintahan otoritas politik dan kebijakan.
Ada sejumlah politik yang dari sifatnya berdampak politik karena langsung
melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Termasuk konflik antara
kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain dalam usaha mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber-sumber yang dkuasai pemerintah, atau kegiatan kelompok
masyarakat yang didukung dengan sejumlah golongan untuk melakukan kudeta atas
pemerintahan yang berkuasa.
Pada dasarnya konilik politik disebabkan oleh
dua hal. Konflik poltik itu mencakup
kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal.
Konflik politik dikelompokkan menjadi dua
tipe, kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tak
mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat mekanisme
penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang
dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan
rakyat, pengadilan. Pemerintah, pers dan forum-forum terbuka yang Iain.
Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui
lembaga-lembaga itu mérupakan contoh konflik positif. Sebaliknya, konflik negatif ialah
konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem poiitik yang biasanya disalurkan
melalui cara-cara non-konstitusional, sepérti kudeta,
separatisme, terorisme, dan revolusi. Katcgori ini mengundung kelemahan.
Apabila mayoritas memandang lembaga dan struktur yang ada tidak mencerminkan kepentingan
umum, konflik yang disalurkan melalui mekanisme politik justru
dipandang sebagai konflik yang negatif. Sebaliknya, tindakan yang menentang sistem yang tidak mencerminkan
kepentingan umum dipandang sebagai konflik yang positif.
3.2 SARAN
Dalam usaha
untuk menimalisir terjadinya konflik maka konflik setidaknya dapat di
minimalisir, konflik tidak dapat di hilangkan bahkan setiap hari mesti ada
konflik apalagi konflik politik setiap hari ada bahkan sewaktu waktu bisa
terjadi. Maka hal ini masyarakat harus melakukan kegiatan dan mendinginkan
suasana guna untuk memperkecil kemungkinan konflik yang terjadi lebih lebih itu
konflik politik, masyarakat dan pemerintah harus solid, bersinergi dalam
kehidupan bernegara dan bangsa , tugas pemerintah untuk mengharmoniskan antara
rakyat pemerintah dan instansi swasta yang lainnya, maka daripada itu konflik
yang sering berkecamuk di indonesia harus.segara di selesaikan, jika tak
kunjung di selesaikan akan terjadi benturan yang lebih keras serta
kesalahpahaman. Sebagai masyarakat indonesia serta pemerintah upaya untuk
menyelesaikannya dengan secara konstitusional.
DAFTAR PUSTAKA
Elly M. Setiadi dan dkk, Pengantar
Sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:Teori, Aplikasi, dan
pemecahannya, Bandung, Kencana Prenadamedia Group, 2010.
Surbakti
Ramlan, Cara Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT Gransindo, 2010
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180416073124-32-291032/gaduh-partai-setan-amien-rais-dan-wajah-politik-destruktif
[1] Elly M.
Setiadi dan dkk, Pengantar Sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan
sosial:Teori, Aplikasi, dan pemecahannya, Bandung, Kencana Prenadamedia
Group, 2010, hlm 364.
[2] Rahl
Dahrendorf, clas and ClassConflict in industrial Society, Stanford, University
Press, Stanford, 1959, hlm 162.
[3] Elly M. Setiadi dan dkk, Pengantar
Sosiologi pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:Teori, Aplikasi, dan
pemecahannya, Bandung, Kencana Prenadamedia Group, 2010, hlm 370.